Tahlilan, praktik pembacaan kalimat tauhid "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah) untuk mendoakan arwah yang telah meninggal, telah menjadi bagian integral dari budaya keagamaan di Indonesia. Namun, statusnya yang ambigu—sebagai tradisi budaya, bukan amalan sunnah—seringkali memicu perdebatan di kalangan umat Islam. Artikel ini akan mengupas tuntas praktik tahlilan, mulai dari asal-usul, landasan rujukan keagamaan, hingga hukumnya menurut berbagai pandangan ulama.
Makna dan Asal-Usul Tahlilan:
Secara bahasa, "tahlil" berasal dari kata dasar "hallala-yuhallilu-tahlil," yang berarti melafalkan kalimat "La ilaha illallah." Dalam konteks sosio-kultural Indonesia, tahlilan berkembang menjadi sebuah upacara keagamaan dan sosial yang bertujuan untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Praktik ini umumnya dilakukan pada hari ke-7, ke-40, dan ke-100 setelah kematian, serta pada berbagai momen penting lainnya seperti ruwahan, akhir Sya’ban, dan hari-hari besar Islam. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, tahlilan juga berfungsi sebagai sarana mempererat silaturahmi antar anggota keluarga dan masyarakat sekitar.
Buku "Kumpulan Ceramah dan Doa untuk Berbagai Acara" karya Gamal Komandoko menjelaskan tahlilan sebagai sebuah seremoni sosial keagamaan. Sementara itu, buku "Al-Qur’an dan Kehidupan (Aneka Living Qur’an dalam Masyarakat Adat)" karya M. Rahmad Azmi menambahkan bahwa tahlilan, dengan imbuhan "-an," menunjukkan kegiatan atau proses pembacaan tahlil. Studi "Studi Analisis Living Qur’an terhadap Tradisi Masyarakat Linggoasri" oleh Sodik Supriyanto dkk. mengungkapkan tahlilan sebagai tradisi Islam yang masih lestari di berbagai daerah di Indonesia, bernilai ibadah dan berdampak sosial positif dalam mempererat tali persaudaraan.
Landasan Keagamaan dan Dalil-Dalil yang Dirujuk:
Meskipun tidak terdapat dalil eksplisit dalam Al-Qur’an yang secara langsung menyebutkan praktik tahlilan, para pendukungnya merujuk pada beberapa hadis dan pendapat ulama sebagai landasan keagamaan. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah hadis riwayat Abi Hurairah RA yang menyebutkan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak mengucapkan "La ilaha illallah" sebagai cara memperbarui iman. Hadis ini, meskipun tidak secara langsung terkait tahlilan, diinterpretasikan sebagai dukungan terhadap inti ajaran yang terkandung dalam praktik tersebut.
Lebih lanjut, Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab terkemuka dalam Islam, menyatakan bahwa membaca ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendoakan mayit adalah sunnah, dan lebih utama lagi jika sampai khatam Al-Qur’an. Pendapat ini diperkuat oleh Imam Al-Qurtubi yang mengemukakan analogi: jika pelepah kurma yang diletakkan Rasulullah SAW di atas kuburan sahabatnya dapat meringankan beban mereka di alam kubur, maka membaca Al-Qur’an dan mendoakan mereka tentu akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Abul Wali Ibnu Rusyd pun menyatakan bahwa pahala membaca Al-Qur’an dan dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepada yang dituju.
Hadis riwayat Aisyah RA juga seringkali dijadikan rujukan. Hadis ini menceritakan seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pahala bersedekah untuk ibunya yang meninggal mendadak tanpa sempat berwasiat. Rasulullah SAW menjawab, "Ya." Hadis ini diinterpretasikan sebagai bukti bahwa amal kebaikan dapat dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Hadis lain yang relevan menyebutkan bahwa siapa yang menolong mayit dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, akan dijamin masuk surga. Anjuran untuk bersedekah, membaca Al-Qur’an, atau berdoa untuk orang yang telah meninggal juga menjadi dasar pendukung praktik tahlilan.
Susunan Bacaan Tahlil dan Pandangan Ulama:
Susunan bacaan tahlil yang umum dilakukan didasarkan pada dalil dan ijtihad ulama, sehingga dianggap bukan bid’ah. Imam Ar-Rahmi, misalnya, menyebutkan anjuran untuk membaca "La ilaha illallah" sebanyak 70.000 kali sebagai doa fidyah, sebuah praktik yang juga disebutkan oleh as-Sanusi dan ulama lainnya. Kalimat "La ilaha illallah" sendiri merupakan inti dari tauhid dalam Islam, pengakuan keesaan Allah SWT, yang menjadi pondasi ajaran Islam.
Namun, perlu ditekankan bahwa meskipun banyak ulama yang membolehkan praktik tahlilan berdasarkan interpretasi hadis dan pendapat ulama terdahulu, tetap ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukumnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa tahlilan termasuk bid’ah (perbuatan baru yang tidak ada contohnya di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat), sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam selama tidak diiringi dengan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam.
Kontroversi dan Perbedaan Pendapat:
Perbedaan pendapat mengenai hukum tahlilan ini berakar pada perbedaan pemahaman terhadap hadis dan ijtihad ulama. Kelompok yang menganggap tahlilan sebagai bid’ah menekankan pentingnya berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan menghindari praktik-praktik yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadis shahih. Mereka berpendapat bahwa mendoakan orang yang telah meninggal sudah cukup dilakukan dengan cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti membaca Al-Qur’an dan berdoa untuk mereka.
Di sisi lain, kelompok yang membolehkan tahlilan berpendapat bahwa praktik ini merupakan bentuk penghormatan dan doa untuk orang yang telah meninggal, serta sarana mempererat silaturahmi. Mereka menekankan bahwa niat dan tujuan dalam melakukan tahlilan adalah yang terpenting, selama niatnya tulus untuk mendoakan arwah yang telah meninggal dan tidak diiringi dengan praktik-praktik syirik atau khurafat.
Kesimpulan:
Tahlilan merupakan praktik keagamaan dan sosial yang kompleks dan memiliki sejarah panjang di Indonesia. Statusnya yang ambigu sebagai tradisi budaya, bukan amalan sunnah, mengakibatkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Meskipun terdapat dalil-dalil yang dirujuk untuk mendukung praktik ini, perlu diingat bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam memahami ajaran agama. Yang terpenting adalah menjaga niat yang ikhlas dalam beribadah dan menghindari praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam. Penting bagi setiap individu untuk memahami berbagai pandangan ulama dan mengambil kesimpulan berdasarkan pemahaman dan keyakinan masing-masing, dengan tetap menjunjung tinggi toleransi dan saling menghormati di antara sesama umat Islam. Perbedaan pendapat ini seharusnya tidak menjadi penghalang untuk tetap menjalin ukhuwah Islamiyah dan saling menghargai perbedaan.