ERAMADANI.COM, DENPASAR – Akhirnya kontroversi ‘tahta’ Raja Majapahit atau raja fiktif yang disandang oleh anggota DPD RI Dapil Bali, Arya Wedakarna (AWK) berujung pada pelaporan kepolisian, pada Selasa (21/01/2020) lalu.
Pelaporan di Polda Bali tersebut dilayangkan oleh I Gusti Ngurah Harta selaku Koordinator Komponen Rakyat Bali ke pihak SPKT Polda Bali pukul 08.30 Wita sebelum diarahkan ke Ditreskrimum Polda Bali.
Menanggapi pelaporan tersebut, rekan sejawat AWK di DPD RI periode 2009-2014 dan 2014-2019, Kadek Arimbawa angkat bicara.
“Saya tidak ada urusan pribadi dengan AWK, tapi melihat fenomena munculnya kasus raja-raja di Indonesia, maka saya setuju jika fenomena yang juga ada di Bali ini diungkap agar masyarakat Bali mengetahui duduk perkara sebenarnya,” kata politisi yang akrab disapa Lolak ini.
Kadek Arimbawa Mengungkapkan Raja Fiktif
Kadek Arimbawa mengakui bahwa penyebutan gelar ‘Raja Majapahit’ yang disandang oleh AWK sudah berlangsung lama. Namun politisi yang juga seniman ini mengatakan bahwa sejatinya ada rasa jengah juga menyikapi kondisi ini.
“Hanya karakter masyarakat Bali kan ‘koh omong’. Jadi ya dibiarkan saja,” kata Kadek Arimbawa.
Namun maraknya kasus raja-raja fiktif dalam beberapa pekan terakhir mau tak mau, lanjut Arimbawa, menyeret raja fiktif lainnya di Bali.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa hari terakhir masyarakat Indonesia dihebohkan dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo (Jawa Tengah), Kerajaan Sunda Empire di Bandung (Jawa Barat).
Serta cabang Keraton Agung Sejagat di Klaten (Jawa Tengah). Fenomena ini diperkirakan juga melanda beberapa daerah lain di Indonesia, termasuk di Bali.
“Saya mendorong pihak penyelenggara negara, berkait masalah hukum, agar mengatensi pihak-pihak ataupun kegiatan yang mengatasnamakan atau mendudukkan dirinya sebagai seorang raja,” kata Kadek Arimbawa yang kini menjabat sebagai Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Bali ini.
Perhimpunan Raja Nusantara
Raja fiktif yang sedang viral ini, tentu berbeda dengan para raja yang bergabung dalam wadah perhimpunan Raja Nusantara yang pastinya sah.
“Apalagi jika mereka yang mengaku sebagai Raja tidak hanya menggunakan anggaran pribadinya dalam berkegiatan, melainkan juga menggunakan anggaran negara dan mendapatkan anggaran internasional ataupun dari luar negeri,” sorot Arimbawa.
Arimbawa pun buru-buru menegaskan bahwa apa yang disorotnya bukan lantaran memiliki masalah pribadi dengan AWK.
“Oh sama sekali tidak ada, kami baik-baik saja. Hanya karena ini sudah menjadi kontroversi di masyarakat, makanya harus diungkap dengan sebenar-benarnya,” tuturnya.
Arimbawa justru mengingatkan hubungan baiknya dengan AWK, terutama pada periode duduk di kursi DPD RI periode 2014-2019.
Diakui bahwa pada periode itu AWK sudah pernah diberhentikan sementara karena dalam pleno Badan Kehormatan DPD RI memutuskan bersalah.
“Ya, seingat saya Pleno Badan Kehormatan DPD RI memang memutuskan bersalah. Saat itu Ketua BK sudah membacakan di Sidang Paripurna,” kata Arimbawa mengingat kejadian tahun 2017 itu.
Beruntung, keputusan tersebut tak serta-merta dieksekusi. “Kami anggota DPD RI dari Bali lainnya yaitu Pak Cok Rat (AA Ngurah Oka Ratmadi), GPS (Gede Pasek Suardika) dan saya mengajukan surat penundaan pelaksanaan keputusan tersebut. Dan akhirnya lewat perdebatan dan lobi-lobi, keputusan pemberhentian bisa ditunda,” kata Arimbawa.
“Ya kami bertiga melakukan lobi kepada anggota DPD RI lainnya agar ikut menjaga nama Bali,” imbuhnya.
Kasus pemberhentian itu pun diakui lama-lama seperti menguap dan tak terdengar lagi. “Ya itu kemudian menyusul penguduran diri AM Fatwa dan pimpinan BK bisa direbut wakil Bali, yaitu, GPS dan kasusnya pelan-pelan dicarikan solusi,” kata Arimbawa.
“Setelah itu, baru di era Ketua BK Mervin S Komber keputusan itu dilaksanakan dengan tanpa hingar-bingar lagi,” tambahnya.
AWK sendiri akhirnya maju kembali dalam kontestasi Pemilu 2019, dan berhasil lolos kembali menjadi anggota DPD RI dari Provinsi Bali periode 2019-2024 dengan raihan 742.781 suara. (ZAN)