Opini berjudul “Mungkinkah Jilbab Tidak wajib?”
Oleh: Ustadz Heri Hariadi,Lc
(Dai Muda,Alumni LIPIA dan Ketua PUI Bali)
ERAMADANI.COM, Beberapa hari ini ramai di jagat media sosial tentang isu “tidak wajibnya jilbab” bagi wanita Muslimah. Sejujurnya saya juga tidak terlalu kaget, sebab itu sudah menjadi isu yang sangat usang.
Hal seperti ini telah dilontarkan oleh para orientalis dan didengungkan kembali oleh “jaringan Islam Liberal” di Indonesia.
Inilah bahayanya liberalism dalam agama. Sebab ia memiliki kaidah penafsiran tersendiri terhadap teks-teks alquran sehingga rela meninggalkan tafsiran dan kajian para ulama fiqh yang mu’tabar, hal itu dilakukan hanya untuk bisa seiring dengan HAM dan kemodernan.
Maka sebaiknya kita kaji kembali pendapat para ulama serta penafsirannya terkait Jilbab ini, sehingga kita benar-benar memiliki pemahaman utuh sehingga tak mudah disesatkan.
Karena terkadang mereka menggunakan istilah-istilah dalam agama yang jarang dipahami secara mendalam kemudian memelintir pendapat para ulama agar sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Perlu diketahui bahwasanya didalam al-quran terdapat tiga istilah yang berbeda terkait ini, yaitu Kata “jilbab”, “khimar” dan “hijab”. Kita akan Bahas satu persatu agar memahami perbedaan ketiganya.
Bahasan Pertama: Tentang jilbab
Dalam Al-Quran
Kata Jilbab disebutkan dalam al-qur’an surat al-Ahzab ayat 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Alqurtubi di dalam Tafsirnya
Tentang makna Jilbab, Alqurtubi di dalam tafsirnya menjelaskan :
الْجَلَابِيبُ جَمْعُ جِلْبَابٍ، وَهُوَ ثَوْبٌ أَكْبَرُ مِنَ الْخِمَارِ. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ الرِّدَاءُ. وَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ الْقِنَاعُ. وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ الثَّوْبُ الَّذِي يَسْتُرُ جَمِيعَ الْبَدَنِ
“Kata “jalabib” adalah bentuk jamak dari “Jilbab” yang maknanya adalah pakaian yang lebih besar dari sekedar tudung kepala (khimar)”.
Diriwayatkan dari Ibnu abbas dan ibnu mas’ud bahwa makna dari kata Jilnan adalah pakaian Panjang (rida’ atau pakaian semacam jubah).
Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah penutup kepala yang juga menutupi wajah. Namun yang paling benar makna dari kata jilbab adalah pakaian yang dapat menutupi seluruh tubuh. (Tafsir alqurthubi, jilid 14 hal 243)
Albaghawi dalam Tafsirnya
Sedangkan Albaghawi dalam tafsirnya “ma’alimut tanzil fi tafsir alquran” menyatakan :
جَمْعُ الْجِلْبَابِ، وَهُوَ الْمُلَاءَةُ الَّتِي تَشْتَمِلُ بِهَا الْمَرْأَةُ فَوْقَ الدِّرْعِ وَالْخِمَارِ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ.
“(jalabib) bentuk plural dari jilbab, adalah pakaian wanita yang meliputi jubah dan tudung kepalanya. Ibnu abbas dan abu ubaidah berkata : wanita beriman diperintahkan menutupi kepala mereka dan wajah mereka kecuali menampakkan satu mata saja agar dapat diketahui bahwa ia wanita merdeka” (jilid 6 hal 376)
Thohir Bin Asyur dalam Kitabnya
Beda lagi dengan penjelasan Thohir bin asyur dalam kitabnya “at-tahrir wat tanwir”, beliau menjelaskan bahwa Jilbab adalah :
ثَوْبٌ أَصْغَرُ مِنَ الرِّدَاءِ وَأَكْبَرُ مِنَ الْخِمَارِ وَالْقِنَاعِ، تَضَعُهُ الْمَرْأَةُ عَلَى رَأْسِهَا فَيَتَدَلَّى جَانِبَاهُ عَلَى عِذَارَيْهَا وَيَنْسَدِلُ سائره على كتفها وَظَهْرِهَا، تَلْبَسُهُ عِنْدَ الْخُرُوجِ وَالسَّفَرِ. وَهَيْئَاتُ لِبْسِ الْجَلَابِيبِ مُخْتَلِفَةٌ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ النِّسَاءِ تُبَيِّنُهَا الْعَادَاتُ
“pakaian yang lebih kecil dari jubah, dan lebih besar dari kerudung serta cadar (penutup wajah), wanita mengenakannya diatas kepala lalu bagian samping menutupi kedua pipinya kemudian sisanya terurai menutupi bahu serta dadanya”.
“Wanita mengenakannya saat keluar atau bepergian. Dan bentuk pakaian jilbab ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan wanita tersebut serta adat yang melingkupinya.” (jilid 22 hal 106-107).
Mengungkap Makna
Dari beberapa penjelasan para ulama diatas, setidaknya kita mendapat beberapa gambaran tentang makna “mengulurkan jilbab” adalah sebagai berikut :
- perintah menggunakan pakaian luar, yang dikenakan diatas penutup kepalanya, dan menutupi wajah dan seluruh tubuhnya selain satu mata yang ia gunakan untuk melihat.
- penutup kepala yang menjulur hingga menutupi bahu serta dada
- perintah menggunakan jubah bagi wanita yang menutupi tubuh mereka
- perintah menggunakan cadar (penutuh kepala dan wajah)
Sebagaimana perkataan thahir bin asyur bahwa bentuk jilbab ini memang berbeda sesuai dengan kebiasaan setempat. Pendapat ini lah yang digunakan oleh kalangan liberal.
Untuk menyatakan bahwa jilbab hanyalah pakaian adat sebab tidak ada ketentuan pastinya dalam syariat, apalagi melihat alasan penggunaan jilbab.
Dalam ayat ini sangat jelas, yaitu untuk membedakan antara muslimah merdeka dan Muslimah budak.
Alqurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, sebagaimana dalam kebiasaan wanita arab jahiliyah bahwa mereka tidak malu mengenakan pakaian terbuka seperti yang dikenakan juga oleh para budak wanita mereka.
Sehingga yang demikian itu membuat para pria bebas menjatuhkan pandangan mereka lalu menimbulkan pikiran-pikiran kotor dan tidak senonoh.
Pada waktu itu pula sudah menjadi kebiasaan jika para wanita hendak buang air besar di sahara mereka sering diganggu oleh para lelaki penggoda.
Maka turun lah ayat ini yang memerintahkan agar para wanita Muslimah yang merdeka menjulurkan jilbabnya sehingga tidak lagi di ganggu oleh para lelaki penggoda tersebut.
Ada pula sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin khattab radiyallahu anhu, memukul dengan tongkat seorang budak wanita yang menutupi kepalanya.
sebagai teguran agar budak wanita tersebut tidak menyerupai pakaian wanita merdeka.
Memang benar, sesuai konteksnya bahwa perintah berjilbab dengan segala maknanya tadi adalah dalam rangka membedakan antara pakaian wanita merdeka dan budak.
Pendapat Imam Ar-razi dalam Tafsirnya
Terkait hal ini, menarik bila kita simak pendapat Imam Ar-razi dalam tafsirnya “mafatih al-ghaib” :
قِيلَ يُعْرَفْنَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ فَلَا يُتْبَعْنَ وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ الْمُرَادُ يُعْرَفْنَ أَنَّهُنَّ لَا يَزْنِينَ لِأَنَّ مَنْ تَسْتُرُ وَجْهَهَا مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ لَا يُطْمَعُ فِيهَا أَنَّهَا تَكْشِفُ عَوْرَتَهَا فَيُعْرَفْنَ أَنَّهُنَّ مَسْتُورَاتٌ لَا يُمْكِنُ طَلَبُ الزِّنَا مِنْهُنَّ.
“dikatakan bahwa wanita merdeka diketahui (dengan jilbabnya) makai a tidak diikuti (oleh lelaki penggoda) dan mungkin juga diartikan bahwa wanita merdeka diketahui bahwasanya mereka tidak mungkin berzina”
“Sebab siapa yang menutupi wajahnya padahal wajah bukan aurat maka tidak ada yang menginginkannya untuk membuka wajahnya”.
“Maka mereka telah diketahui sebagai wanita yang tertutup maka tidak mungkin mengajak mereka melakkan zina”.
Imam Ar-razi, menyatakan bahwa wajah bukan aurat, namun diperintahkan dalam ayat ini di tutup dengan jilbab, disebabkan sebuah keadaan sosial.
Sehingga penggunaan kata jilbab dalam artian menutup wajah, bisa jadi hanya sebagai salah satu cara bagi seorang wanita masa kini dalam rangka menutup auratnya, namun bukan suatu kewajiban.
Karena bila hukumnya wajib maka bisa dipastikan mayoritas wanita Muslimah telah berdosa, karena tidak menggunakan jilbab yang menutupi seluruh wajah.
Serta badannya kecuali membiarkan satu mata saja yang nampak agar dapat melihat, sebagaimana pendapat ibnu abbas.
Tetapi bukan berarti pula seorang wanita Muslimah boleh memperlihatkan rambutnya atau lehernya dan tidak menggunakan penutup kepala sebagaimana yang diinginkan orang-orang liberal itu.
Dengan alasan bahwa sekarang ini budak sudah tidak lagi ada, maka perintah menjulurkan jilbab menjadi tidak berlaku dan tidak relevan.
Tentu perkataan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal, hanya membeo kepada orientalis.
Karena kita juga harus memahami ayat lain terkait dengan jilbab ini yaitu dalam surat An-Nur ayat 31 yang berbunyi :
…وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ…
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ayat ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Maka harus pula kita pahami sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. (HAD)