ERAMADANI.COM, JAKARTA – Berkaitan dengan Munas NU yang akan membahas soal RUU Omnibus Law, disoroti banyak pihak, termasuk tanggapan pemerintah RI.
Dilansir dari Kompas.com, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menjawab adanya anggapan soal Omnibus Law yang dinilai tidak akan terwujud.
Tanggapan Pemerintah Soal Omnibus Law yang Belum Tersosialisasi

Menurutnya alasan pemerintah menyusun Omnibus Law adalah untuk menyederhanakan regulasi. Sebab, regulasi sering menjadi hambatan dalam investasi serta masalah ketenagakerjaan.
“Makanya itu harus dilakukan upaya perbaikan. Caranya melalui omnibus law dengan berbagai cluster,” ujar Ma’ruf di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (05/02/2020).
Omnibus Law yang sedang disiapkan itu adalah tentang cipta lapangan kerja dan perpajakan. Namun, masih ada beberapa regulasi lainnya yang akan dibuat berbentuk omnibus law tersebut.
“Memang belum tersosialisasi secara masif, karena sekarang masih dalam proses pembahasan, penyiapan rancangannya. Nanti pembahasannya di DPR,” ujar Ma’ruf.
Sebelumnya Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan bahwa UU Omnibus Law sangat diperlukan untuk mengimbangi perubahan dunia yang berlangsung secara cepat.
Menurutnya pula, selama ini Indonesia kesulitan merespons perubahan yang terjadi di dunia karena terhalang banyaknya aturan.
Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi juga membantah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dibahas secara sembunyi-sembunyi.
Menurutnya jika RUU tersebut dibahas secara sembunyi-sembunyi, maka saat ini tidak akan ada masyarakat yang mengetahuinya.
Rancangan RUU Omnibus Law Berpotensi Mengurangi Perpajakan

Dilain sisi Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan berpotensi mengurangi pendapatan perpajakan.
Dikutip dari media yang berbeda CNNIndonesia.com, menurutnya, jika aturan tersebut berlaku, penerimaan perpajakan bisa berkurang Rp85 triliun-Rp86 triliun.
Penurunan tersebut terjadi akibat kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari sebesar 25 persen menjadi 20 persen yang diberlakukan dalam aturan tersebut.
Adanya kebijakan itu nantinya PPh Badan diturunkan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021. Lalu, menjadi 20 persen pada 2023.
“Kami sudah hitung dampak langsung, kalau pajak dikurangi ada Rp85 triliun-Rp86 triliun pendapatan yang tidak akan masuk,” katanya, Rabu (05/02/2020).
Ia mengaku telah mengantisipasi potensi penurunan pendapatan tersebut. Antisipasi dilakukan dengan meningkatkan tax collection (kepatuhan perpajakan) yang besaran PPh badan telah diturunkan.
Bahkan ia juga meyakini upaya tersebut juga akan memperluas basis pajak (tax base) yang saat ini masih berada di angka 11 persen.
“Kami juga menggunakan pertukaran data, tapi kami tidak ingin banyak menakuti orang jadi kami tidak banyak melakukan artikulasi mengenai hal ini,” katanya.
Omnibus law perpajakan rencananya terdiri dari enam kluster. Pemerintah telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) atas omnibus law RUU.
Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (29/01/2020) lalu.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga telah melampirkan dan menyerahkan rancangan (draft) RUU Omnibus Law perpajakan. (MYR)