ERAMADANI.COM, JAKARTA – Posisi Indonesia semakin kuat dalam ekosistem pembiayaan syariah global. Salah satu indikatornya ialah jumlah dan nilai proyek dari pembiayaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) terus meningkat.
Sebelumnya, saat pertama kali pada 2013, SBSN proyek itu hanya satu kementerian yang memanfaatkannya, dengan nilai proyek Rp 800 miliar.
Namun, jumlah itu perlahan naik hingga mencapai Rp 22,53 triliun dan Rp 28,43 triliun pada 2018 serta 2019.
Sementara pada 2020, proyek atas pembiayaan dari SBSN menjadi Rp 23,29 triliun dan tersebar ke delapan Kementerian/ Lembaga (K/L).
Angka itu turun dari target sebelumnya yakni Rp 32,48 triliun.
Akan tetapi, seiring kebijakan refocussing anggaran di tengah pandemi Covid-19, pada 2021 nilai proyek kembali meningkat double digit menjadi Rp 27,58 triliun yang terprakarsai oleh 11 K/L.
Melansir dari republika.co.id, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan besaran penerbitan SBSN proyek yang dilakukan pemerintah sudah mencapai Rp 145,84 triliun.
“Volume ini tentu menyebabkan Indonesia makin memiliki posisi di dalam global syariah financing, karena nilainya makin signifikan,” jelas Sri dalam Forum Kebijakan Pembiayaan Proyek Infrastruktur Melalui SBSN Tahun 2021 secara virtual pada Rabu (20/1/21).
Ia menyatakan SBSN proyek merupakan salah satu instrumen pembiayaan kreatif yang negara butuhkan untuk memenuhi tingginya kebutuhan biaya pembangunan.
Terlebih pada saat APBN mengalami tekanan penerimaan negara lantaran imbas pandemi Covid-19.
Sementara keberadaan SBSN proyek juga merupakan bukti upaya pemerintah meningkatkan perkembangan ekonomi dan instrumen syariah di Indonesia.
Adapun upaya ini seiring dengan pembentukan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), dalam mengembangkan berbagai instrumen dan ekosistem syariah untuk menguatkan perekonomian Indonesia.
Menkeu menekankan kepada para pemrakrasa proyek atas pembiayaan SBSN untuk menjaga tata kelola dan akuntabilitasnya.
Hal itu karena proyek mereka dibiayai utang berbasiskan syariah yang harus dijaga secara maksimal.
“Tentu, kita punya kewajiban moral lebih untuk bisa menjaganya,” ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu. (ITM)