Jakarta – Nama Sya’ban bin Abdullah Al-Anshari mungkin tak segemilang nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang kerap menghiasi lembaran sejarah Islam. Namun, kisah hidupnya, khususnya penyesalan mendalam yang menyertainya di sakaratul maut, menyimpan pelajaran berharga yang patut direnungkan umat Islam hingga kini. Kehidupannya, yang diwarnai kesederhanaan dan ketekunan beribadah, berujung pada penyesalan yang mengguncang, sebuah pengingat akan pentingnya memaksimalkan amal saleh sebelum ajal menjemput.
Sya’ban dikenal sebagai sosok yang tekun beribadah. Ia memiliki kebiasaan unik yang diamati oleh Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya: selalu datang ke masjid jauh sebelum waktu sholat tiba, dan memilih tempat di pojok masjid, menghindari gangguan terhadap jamaah lain. Ketaatan dan kerendahan hatinya menjadi ciri khasnya. Namun, kehidupan yang tampak tenang dan penuh ibadah ini diakhiri dengan penyesalan yang amat dalam, sebuah penyesalan yang terungkap dalam detik-detik terakhir hidupnya.
Kisah pilu ini diabadikan dalam buku "Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas III" karya Muhammad Najib dkk. Suatu pagi, kebiasaan Sya’ban yang selalu hadir lebih awal di masjid untuk sholat Subuh tak terlihat. Ketidakhadirannya menimbulkan kekhawatiran Rasulullah SAW. Setelah menunggu cukup lama, Rasulullah SAW memutuskan untuk melaksanakan sholat Subuh bersama para sahabat tanpa kehadiran Sya’ban.
Namun, kekhawatiran Rasulullah SAW semakin menjadi setelah sholat. Beliau kemudian mengutus salah seorang sahabat untuk mengunjungi rumah Sya’ban. Di sana, mereka mendapati kabar duka. Sya’ban telah meninggal dunia. Istri Sya’ban menceritakan tentang teriakan-teriakan pilu yang keluar dari mulut suaminya di saat-saat sakaratul maut: "Aduh, kenapa tidak lebih jauh! Aduh, kenapa tidak yang baru! Aduh, kenapa tidak semua!"
Kata-kata Sya’ban yang penuh penyesalan itu bukanlah jeritan kesakitan biasa. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa teriakan tersebut merupakan manifestasi dari penampakan amal perbuatan Sya’ban selama hidupnya, yang ditunjukkan kepadanya di saat-saat menjelang ajal. Ia melihat kekurangan-kekurangannya, amal-amal yang belum maksimal, dan kesempatan-kesempatan yang telah disia-siakan. Penampakan ini memicu penyesalan yang begitu mendalam hingga terungkap dalam jeritan pilu tersebut.
Tiga hal utama menjadi inti penyesalan Sya’ban. Ketiga hal ini tersirat dalam tiga kalimat yang diulang-ulang dalam teriakannya:
1. "Aduh, kenapa tidak lebih jauh!" – Penyesalan atas Kedekatan Rumah dengan Masjid:
Sya’ban menyesali kedekatan rumahnya dengan masjid. Ia menyadari bahwa setiap langkah kaki menuju masjid dihitung sebagai amal ibadah. Semakin jauh jarak rumah dengan masjid, semakin banyak pahala yang bisa diraih. Penyesalannya ini bukan sekadar penyesalan atas jarak fisik, melainkan penyesalan atas kesempatan untuk menambah amal ibadah yang telah disia-siakan. Ia merasa seharusnya ia tinggal lebih jauh dari masjid agar dapat meraih pahala yang lebih banyak melalui perjalanan yang lebih panjang menuju tempat ibadah. Ini menunjukkan betapa pentingnya niat dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele.
2. "Aduh, kenapa tidak yang baru!" – Penyesalan atas Kedermawanan yang Kurang Maksimal:
Sya’ban juga menyesali kurangnya kedermawanan dirinya. Ia pernah memberikan pakaian kepada orang yang membutuhkan, namun pakaian tersebut adalah pakaian bekas. Ia merasa seharusnya ia memberikan pakaian baru, pakaian yang lebih layak dan menunjukkan kepedulian yang lebih besar. Penyesalan ini menyingkap pentingnya bersedekah dengan ikhlas dan memberikan yang terbaik yang kita miliki, bukan hanya sisa-sisa yang sudah tidak terpakai. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban, tetapi juga melampauinya dengan memberikan yang terbaik.
3. "Aduh, kenapa tidak semua!" – Penyesalan atas Keengganan Berbagi Secara Penuh:
Penyesalan terakhir Sya’ban adalah mengenai pemberian makan kepada orang yang kelaparan. Ia hanya memberikan sebagian dari roti yang dimilikinya, bukan seluruhnya. Ia menyadari bahwa seharusnya ia memberikan seluruh roti yang dimilikinya, tanpa ragu-ragu. Penyesalan ini menekankan pentingnya keikhlasan dan kedermawanan yang tanpa batas. Berbagi bukan hanya sekedar memberi sebagian kecil dari apa yang kita miliki, tetapi juga memberikan seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Ini merupakan ajaran penting tentang kepedulian sosial dan tanggung jawab terhadap sesama.
Kisah Sya’ban RA bukanlah sekadar cerita masa lalu. Ia adalah sebuah cermin yang merefleksikan perjalanan spiritual setiap manusia. Kisah ini mengingatkan kita akan singkatnya waktu dan betapa pentingnya memaksimalkan setiap detik untuk beramal saleh. Penyesalan di akhir hayat, seperti yang dialami Sya’ban, adalah penyesalan yang tak terobati. Tidak ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan setelah ajal menjemput.
Pesan moral yang terkandung dalam kisah Sya’ban sangatlah mendalam. Ia mengajak kita untuk selalu merenungkan amal perbuatan kita, memperbanyak ibadah, dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Kedekatan dengan masjid, kedermawanan, dan kepedulian terhadap sesama bukanlah sekadar tindakan ritual, melainkan manifestasi dari keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Setiap langkah, setiap tindakan, dan setiap keputusan yang kita ambil harus diiringi dengan niat yang tulus dan ikhlas untuk meraih ridho Allah SWT.
Kisah Sya’ban RA menjadi pengingat yang kuat bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput. Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk beramal saleh, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat. Semoga kisah Sya’ban RA menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, agar kita tidak bernasib sama seperti beliau, menyesal di ujung hayat. Semoga kita selalu diberikan kekuatan dan hidayah untuk senantiasa berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.