Jakarta – Kata "hikmah" seringkali menghiasi percakapan sehari-hari, baik dalam konteks informal maupun diskusi keagamaan. Ungkapan "Ambil hikmahnya!" telah menjadi idiom yang umum digunakan, namun pemahaman mendalam tentang makna hikmah, khususnya dalam perspektif Islam, seringkali luput dari perhatian. Lebih dari sekadar kata, hikmah merupakan konsep spiritual yang kaya, mencerminkan kebijaksanaan, pemahaman yang komprehensif, dan jalan menuju kedekatan dengan Allah SWT. Ia mengajarkan kita untuk melampaui permukaan peristiwa dan menggali pelajaran berharga dari setiap pengalaman hidup.
Salahuddin Sopu, dalam tulisannya "Hikmah itu Anugerah yang Besar," mendefinisikan hikmah sebagai pengetahuan tentang baik dan buruk, diiringi kemampuan untuk menerapkan kebaikan dan menghindari keburukan. Akar kata hikmah, (ØÂكم) hakama, berarti "menghalangi" – menghalangi keburukan dan mengarahkan kepada kebaikan. Implementasi hikmah, karenanya, memerlukan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga kemampuan praktis untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata.
Hikmah, dalam konteks ini, melebihi sekadar akumulasi pengetahuan. Ia merupakan keahlian untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta kemampuan untuk menerapkan diskriminasi moral tersebut dalam pengambilan keputusan dan tindakan sehari-hari. Individu yang dianugerahi hikmah mampu membuat pilihan bijaksana, bertindak selaras dengan nilai-nilai kebaikan, dan menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Kehidupan mereka terarah, bermakna, dan bertujuan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 269:
"Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ulul albab."
Ayat ini menegaskan bahwa hikmah merupakan anugerah ilahi, diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Penerima hikmah dianggap telah mendapatkan kebaikan yang melimpah, namun pemahaman dan penerapan hikmah tersebut hanya dapat dicapai oleh mereka yang memiliki kecerdasan dan kepekaan batin (ulul albab). Ayat ini menekankan eksklusivitas hikmah sebagai anugerah dan sekaligus menunjukkan bahwa hikmah bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh semata-mata melalui usaha manusia, tetapi juga memerlukan kehendak dan izin dari Allah SWT.
Lebih lanjut, Hadits Rasulullah SAW menegaskan pentingnya mencari dan menerima hikmah:
"Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menggambarkan hikmah sebagai sesuatu yang berharga dan penting bagi setiap mukmin. Ia mengajak umat Islam untuk senantiasa mencari dan menerima hikmah di mana pun dan kapan pun mereka menemukannya, menunjukkan bahwa pencarian hikmah merupakan bagian integral dari perjalanan spiritual seorang muslim. Ini menunjukkan sifat hikmah yang universal dan tidak terbatas pada konteks tertentu.
Proses memperoleh hikmah melibatkan refleksi diri yang mendalam dan penggunaan ilmu serta pengalaman secara bijaksana. Ia meliputi pemahaman hubungan antara berbagai aspek kehidupan, menelusuri sumber dan tujuan pengetahuan, serta mengintegrasikan pengetahuan tersebut ke dalam sistem nilai dan etika hidup. Oleh karena itu, penanaman cinta terhadap hikmah harus dimulai sejak dini, di semua jenjang pendidikan dan tahap usia.
Pembahasan tentang hikmah tak lepas dari eksplorasi konsep keadilan, kebijaksanaan, dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama, norma moral, dan akal budi. Ketiga pilar ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, membentuk landasan yang kokoh bagi pemahaman dan penerapan hikmah dalam kehidupan. Keadilan menuntut perlakuan yang adil dan seimbang dalam semua aspek kehidupan, sedangkan kebijaksanaan mengarahkan pada pengambilan keputusan yang cermat dan berwawasan jauh. Kebaikan, sebagai tujuan utama, mengarahkan tindakan menuju peningkatan kesejahteraan diri dan masyarakat.
Integrasi ketiga konsep ini menghasilkan kehidupan yang seimbang dan harmonis. Hikmah bukanlah sesuatu yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis dan berkembang seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman. Ia memerlukan kesadaran diri yang tinggi, kemampuan untuk merenungkan peristiwa hidup, dan keberanian untuk mengambil pelajaran dari kesalahan.
Dalam konteks dunia modern yang kompleks dan seringkali membingungkan, hikmah menjadi semakin penting. Ia memberikan panduan navigasi di tengah arus informasi yang melimpah dan seringkali bertentangan. Hikmah membantu kita untuk memilih jalan yang benar, membedakan antara yang hak dan yang batil, serta menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat.
Penerapan hikmah dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari hubungan antarmanusia, pengelolaan sumber daya, hingga pengambilan keputusan politik. Seseorang yang berhikmah akan mampu membangun hubungan yang harmonis dengan sesama, mengelola sumber daya secara efisien dan berkelanjutan, serta mengambil keputusan yang bijaksana dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kesimpulannya, hikmah dalam Islam bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga merupakan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan bijaksana dan berlandaskan nilai-nilai kebaikan. Ia merupakan anugerah dari Allah SWT yang membawa kebaikan yang melimpah bagi penerimanya. Mencari dan menerapkan hikmah merupakan jalan menuju kebijaksanaan, ketakwaan, dan kedekatan dengan Allah SWT. Dalam era modern ini, hikmah menjadi semakin relevan sebagai kompas moral dan spiritual bagi umat Islam dalam menavigasi kompleksitas kehidupan duniawi dan mencapai kesuksesan di akhirat. Oleh karena itu, upaya untuk menanamkan nilai-nilai hikmah sejak dini merupakan investasi penting bagi masa depan umat Islam yang lebih baik.