ERAMADANI.COM, JAKARTA – Rekomendasi terbaru terkait kriteria pasien komorbid yang tidak layak untuk menerima vaksin CoronaVac buatan Sinovac Biotech, Ltd telah dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI).
Pasien autoimun kini dapat menerima vaksinasi, lantas mereka yang yang memiliki riwayat alergi, infeksi akut, dan imunodefisiensi primer belum mendapat izin menerima vaksinasi.
PAPDI menjelaskan dalam surat rekomendasi tertanggal 18 Maret 2021 terkait pasien komorbid yang tak layak untuk mendapatkan vaksin corona.
Adapun pasien komorbid yang tidak boleh vaksinasi sama sekali itu sebagai berikut.
- Reaksi alergi berupa anafilaksis dan reaksi alergi berat akibat vaksin COVID-19 dosis pertama, ataupun akibat dari komponen yang sama dengan yang terkandung dalam vaksin COVID-19.
- Individu yang sedang mengalami infeksi akut. Jika infeksinya sudah teratasi maka vaksinasi COVID-19 dapat berlangsung. Pada infeksi TB, pengobatan OAT perlu minimal 2 minggu untuk layak vaksinasi.
- Individu dengan penyakit imunodefisiensi primer.
Mereka yang berusia lebih dari 59 tahun atau lansia, ada sejumlah kondisi juga yang menjadikan mereka tak layak untuk menerima vaksinasi COVID-19.
Kelayakan vaksinasi Sinovac untuk mereka yang berusia di atas 59 tahun bergantung pada kondisi frailty (kerapuhan) dari individu tersebut yang tampak dari kuesioner rapuh.
Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Vaksinasi
Sementara itu, Kemenkes memberikan peringatan kepada masyarakat kategori lansia, terlebih yang memiliki komorbid, mereka harus memperhatikan kondisi sebelum vaksinasi.
Kemenkes berharap para lansia penderita komorbid melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu.
Adapun bagi yang memiliki riwayat penyakit kronis, harus menyertakan surat layak vaksin dari dokter.
“Jadi baik yang punya penyakit jantung atau kelainan darah atau punya penyakit ginjal kontrol ke dokternya, pastikan dokternya bisa memberikan keterangan bahwa memang layak vaksin. Bisa dalam bentuk surat bahwa memang lansia tersebut dapat menerima vaksinasi,” kata juru bicara Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, Rabu (24/3/21), mengutip kumparan.com.
Apabila ada lansia atau dewasa yang memiliki penyakit komorbid seperti darah tinggi, asma, hingga gula darah, lebih baik mereka mengobatinya terlebih dahulu sebelum vaksinasi.
“Ini sebaiknya diobati terlebih dahulu dan nanti tentunya kalau sudah terkontrol dengan baik silakan datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, karena misalnya untuk tekanan darah sekarang ini batas atasnya sudah 180 per 110 ya. Jadi, cukup artinya yang kemarin sempat tunda, itu sebenarnya saat ini sudah bisa mendapatkan vaksinasi kembali,” jelas Siti Nadia.
Prof Hindra Satari selaku Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) menjelaskan, sebetulnya masalah komorbid itu apabila seseorang terinfeksi COVID-19 prognosisnya akan lebih buruk, seperti kasus infeksi berat.
“Jadi kata kuncinya kalau kena komorbid, prognosis lebih buruk. Sekarang yang kita kasih (vaksin) sesuatu yang enggak bisa bikin COVID. Karena (Sinovac) virusnya dinonaktivasi, sementara AstraZeneca dibuat dengan genetiknya aja,” paparnya.
Hindra Satari menilai penderita komorbid memiliki risiko lebih tinggi dan jika menderita COVID-19 akan lebih buruk, maka dari itu pasien komorbid ini harus vaksinasi.
Meski begitu, komorbid mereka harus dalam keadaan terkendali.
“Kita pengin dalam keadaan terkendali, supaya respons imun/kekebalan, hasilnya sesuai harapan. Kita menyuntikkan orang yang sehat. Jadi, sebetulnya ada komorbid itu enggak apa divaksin, jadi bukan kontraindikasi vaksinasi,” terangnya.
Penderita Komorbid Perlu Bawa Surat Keterangan Dokter Sebelum Vaksinasi
Ia lantas mengingatkan penderita komorbid untuk membawa surat keterangan dokter saat mengikuti vaksinasi corona.
“Membawa surat dokter tuh jangan (dianggap) jadi suatu aib atau masalah untuk mempersulit,” ujarnya.
Adapun hal itu sebagai antisipasi apabila terjadi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau efek samping setelah menjalani vaksinasi.
“Itu kaidah normal untuk orang sehat harus diperiksa tiap tahun. Ini kan untuk mengamankan, untuk tidak menggelisahkan, dan untuk tidak membingungkan semua pihak,” jelas Hindra Satari.
Penderita komorbid maupun masyarakat pada umumnya harus bertanggung jawab terhadap surat dokter masing-masing.
Vaksinator tak bisa menolak pernyataan masyarakat yang tidak jujur. Jika asumsi kesehatan yang tersampaikan benar, maka vaksinator menganggap benar.
(ITM)