ERAMADANI.COM, DENPASAR – Usai diskusi “Bengkel Anti Korupsi” di Kampus UNUD Sudirman Rabu (11/09/2019) lalu, peserta kegiatan tersebut membentuk Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bali Anti Korupsi (AMMBAK).
Aliansi yang berdasar dari keresahan publik itu dibangun untuk menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi UU KPK di kantor DPRD Provinsi Bali, Kamis (12/09/2019) kemarin.
Tepat pasca situasi panas di Bali tersebut, Jum’at (13/09/2019) dini hari tadi, Komisi III DPR RI menggelar rapat yang hasilnya penetapan lima orang pimpinan KPK 2019-2023 yang terpilih lewat pemungutan suara.
Ketua Komisi III DPR RI, Aziz Syamsuddin pun membaca hasil tersebut, mereka ialah:
1. Nawawi Pomolango, hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. (50 Suara).
2. Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018. (44 Suara)
3. Nurul Ghufron, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember. (51 Suara)
4. Alexander Marwata, komisioner KPK petahana sekaligus mantan Hakim TIPIKOR. (53 Suara)
5. Irjen (Pol) Firli Bahuri, Kepala Polda Sumatera Selatan. (56 Suara)
Tanpa ada skors panjang, pada momen yang sama DPR-RI seketika menetapkan satu diantara lima orang tersebut sebagai ketua KPK yang baru.
Terpilihlah Irjen (Pol) Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru tanpa ada sanggahan pada rapat tersebut.
Kontroversi Pimpinan KPK Terpilih
Keputusan DPR-RI dini hari ini sontak memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat. Berbagai pemberitaan media muncul membahas rekam jejak dari nama-nama yang terpilih menjadi pejabat lembaga negara yang sedang menjadi sorotan masyarakat.
Yang paling tersoroy tentu nama Firli Bahuli, satu dari sekian Calon Pimpinan KPK dari instansi asal Kepolisian yang namanya ditetapkan dengan singkat sebagai komisioner KPK serta Pimpinannya sekaligus.
Dilansir dari Kompas, Pria kelahiran Prabumulih, Sumsel, 8 November 1963 itu pernah menjadi Deputi Penindakan KPK, Kapolda Nusa Tenggara Barat, Wakapolda Jawa Tengah, dan Wakapolda Banten.
Lulusan Akpol 1990 ini tercatat sempat menjabat Kapolres Persiapan Lampung Timur pada 2001. Pada 2005, Firli menduduki jabatan Kasat III Ditreskrimum Polda Metro Jaya sebelum menjabat Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2006 dan 2007
Dua tahun kemudian, Firli kembali ke Polda Metro Jaya sebagai Wakapolres Metro Jakarta Pusat. Lalu, pada 2010 Firli masuk Istana dengan menjabat sebagai asisten sespri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah bertugas sebagai Direktur Kriminal Khusus Polda Jateng, pada 2012 Firli dipercaya sebagai ajudan wakil presiden yang saat itu dijabat Boediono. Firli menjabat Wakapolda Banten pada 2014, dan dua tahun kemudian duduk sebagai Karodalops Sops Polri.
Di jabatan inilah, Firli berpangkat jenderal bintang satu atau brigjen. Pada 2017, Firli dipromosikan menjadi Kapolda NTB dan setahun kemudian dia ditugaskan di KPK sebagai deputi penindakan. Bintang dua didapatnya saat menjabat Kapolda Sumatera Selatan.
Reaksi Dari Keputusan DPR RI
Berbagai media massa pun memberitakan kontroversi dari para pimpinan terpilih tersebut.
Firli Bahuri dikabarkan memiliki harta sebesar 18 Milyar Rupiah. Selain itu, sebanyak 500 pegawai KPK telah menandatangani penolakan capim KPK Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK peridoe 2019-2023.
Tak hanya itu, Irjen Firli disebut-sebut diduga melakukan pelanggaran etik saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti pernah menyatakan kepada media Sindonews bahwa Revisi UU KPK akan menjadi kado pahit DPR RI menjelang akhir masa jabatannya.
Maka keputusan formasi KPK terpilih 2019-2023 yang baru saja ditetapkan DPR RI dini hari tadi bisa dianggap sebagai kado pelengkap kesempurnaan dari DPR RI.
Praktisi Hukum asal Bali, Muhammad Zainal Abidin, SH. turut menyampaikan pendapatnya pada wartawan Era Madani.
” Bangsa ini sedang mengalami banyak kejadian yang membuat bangsa ini menangis mulai dari wafatnya Putra terbaik Bangsa Prof. B.J. Habibie”.
” Terpilihnya Komisoner KPK oleh Komisi III DPR RI, dari nama-nama komisioner tersebut ada beberapa nama yang menjadi sorotan masyarakat anti korupsi. Karena nama nama tersebut dipertanyakan integritasnya dalam pemberantasan korupsi, selanjutnya Presiden Jokowi pun telah mengeluarkan Surpres tentang RUU KPK, hal ini menambah panjang deretan kesedihan bangsa ini.” Ujarnya melalui wawancara yang dilakukan tim Era Madani.
Menurut Zainal, setidaknya ada 9 substansi hukum dari revisi UU KPK yang harus di kaji lebih mendalam seperti :
- Independensi KPK terancam
- Penyadapan dipersulit dan dibatasi
- Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
- Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi
- Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung
- Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
- Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas
- Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan
- Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas
Keganjilan tersebut memaksa Zainal dan segenap aktivis #SaveKPK mengeluarkan analisa mentah bahwa banyak campur aduk politik transaksional dalam polemik RUU-KPK kali ini.
Tampaknya, harapan Egi Primayogha, selaku Anggota Indonesia Corruption Watch kepada presiden Jokowi untuk menolak RUU-KPK dan membatalkan Surpresnya ke anggota DPR RI belum bisa terwujud. (RAB, RIE)