Di tengah gemerlap modernitas, sebuah warisan budaya terancam hilang ditelan zaman. Tenun gedogan, salah satu warisan kain tradisional Indonesia yang berasal dari Indramayu, kini hanya tinggal kenangan. Di masa lampau, tenun gedogan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Indramayu. Suara gedog-gedog yang dihasilkan dari alat tenun tradisional menjadi irama kehidupan yang tak terpisahkan dari keseharian mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, tenun gedogan mulai terlupakan. Generasi muda lebih tertarik pada industri tekstil modern, meninggalkan warisan nenek moyang mereka. Kini, hanya tersisa satu penenun gedogan yang masih aktif, Sunarih, seorang perempuan berusia 70 tahun yang tinggal di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu.
Di rumahnya yang sederhana di Gang Kesan, Sunarih masih setia menjaga tradisi leluhurnya. Setiap hari, ia duduk di teras rumahnya, tangan cekatannya menggerakkan alat tenun tradisional. Suara gedog-gedog yang khas terdengar, menjadi bukti bahwa warisan budaya ini masih hidup, meski nyaris terlupakan.
"Mau buat kain pesanan orang," ujar Sunarih kepada Republika, Selasa (8/10/2024), matanya yang tua masih tajam mengamati benang-benang yang akan ditenunnya.
Dengan telaten, Sunarih memilah benang-benang yang akan dipadatkan. Benang-benang itu dimasukkan ke dalam suri, komponen alat tenun yang memiliki 450 lubang.
"Proses menenun gedogan ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian," jelas Sunarih. "Setiap benang harus dipadatkan dengan tepat agar menghasilkan kain yang kuat dan indah."
Sunarih mendemonstrasikan proses menenun. Ia menggerakkan alat tenun dengan tangannya, menggabungkan benang-benang secara memanjang dan melintang. Setiap gerakannya penuh dengan pengalaman dan keahlian yang telah ia kumpulkan selama puluhan tahun.
"Saya belajar menenun dari ibu saya sejak kecil," kenang Sunarih. "Dulu, semua perempuan di desa ini bisa menenun. Tapi sekarang, hanya saya yang masih bertahan."
Sunarih menyadari bahwa dirinya adalah benteng terakhir dari tenun gedogan Indramayu. Ia berharap agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.
"Saya ingin anak-anak muda belajar menenun," harap Sunarih. "Saya ingin mereka meneruskan tradisi ini agar tenun gedogan tidak punah."
Namun, upaya Sunarih untuk melestarikan tenun gedogan tidak mudah. Generasi muda lebih tertarik pada pekerjaan modern yang dianggap lebih menjanjikan.
"Mereka tidak mau belajar menenun," ujar Sunarih dengan nada sedih. "Mereka menganggap menenun itu pekerjaan yang berat dan tidak menguntungkan."
Sunarih pun merasa kesulitan untuk mencari bahan baku tenun gedogan. Bahan baku yang berkualitas semakin sulit ditemukan, harganya pun semakin mahal.
"Dulu, bahan baku tenun gedogan mudah didapat," kenang Sunarih. "Sekarang, saya harus mencari ke berbagai tempat untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas."
Kendala yang dihadapi Sunarih tidak hanya soal bahan baku dan minat generasi muda. Permintaan terhadap tenun gedogan pun semakin menurun.
"Dulu, tenun gedogan banyak dipesan oleh orang-orang," ujar Sunarih. "Sekarang, hanya sedikit orang yang memesan tenun gedogan. Mereka lebih memilih kain modern yang harganya lebih murah."
Meskipun menghadapi berbagai kendala, Sunarih tidak pernah menyerah. Ia tetap setia menenun gedogan, berharap agar warisan budaya ini tidak hilang ditelan zaman.
"Saya tidak akan berhenti menenun," tegas Sunarih. "Saya akan terus menenun sampai napas saya terakhir."
Kisah Sunarih menjadi cerminan dari perjuangan para pengrajin tradisional di Indonesia yang terus berjuang untuk melestarikan warisan budaya mereka. Di tengah gemerlap modernitas, mereka tetap setia pada tradisi leluhur, menjaga agar warisan budaya Indonesia tetap hidup dan lestari.