ERAMADANI.COM, DENPASAR – Peristiwa Puputan Badung yang terjadi 20 September 1906, menjadi catatan sejarah yang tak akan dilupakan. Bagaimana kisah selengkapnya?
Mengenal Istilah Puputan
Puputan adalah tradisi masyarakat di Bali, berupa tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali “puput” yang artinya “tanggal” / “putus” / “habis / “mati”.
Puputan berarti perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan.
Sementara, Puputan Badung adalah sebuah bentuk perang perlawanan terhadap ekspedisi militer pemerintah kolonial Belanda V di Badung. Puputan Badung berarti pula bentuk reaksi terhadap intervensi penguasa Belanda terhadap kedaulatan masyarakat Badung.
Perang Puputan Badung itu bermula pada tanggal 27 Mei 1904. Saat itu, kapal dagang Sri Komala yang berbendera Belanda, terdampar di Pantai Sanur. Menurut pemerintah Belanda, kapal milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang tersebut membawa banyak barang yang berharga dan dinyatakan hilang karena dicuri dan dirampok di sekitar Pantai Padang Galak Sanur.
Padahal, warga Sanur saat itu merasa telah memberikan pertolongan dan menyerahkan muatan dengan rapi kepada syahbandar. Namun, pihak Belanda tetap meminta tebusan atas barang yang dinyatakan hilang atau dirampok itu. Dengan alasan inilah, terjadi penyerangan terhadap Kerajaan Badung, tepatnya pada 20 September 1906.
Kala itu, di pagi buta, Kota Denpasar dihujani tembakan meriam Belanda dari Pantai Sanur. Gempuran dari Belanda tersebut mendapat perlawanan gigih dari rakyat dan Raja Badung I Gusti Ngurah Denpasar. Tiada rasa gentar sedikit pun. Raja Badung beserta segenap keluarganya melawan hingga titik darah terakhir.
Terjadilah peperangan sengit, bahkan ada yang hingga saling tikam. Dengan bersenjatakan keris dan tombak serta pakaian serba putih, Laskar Badung saat itu menyerbu dan menerjang pasukan Belanda. Tak seimbang, korban pun bergelimpangan, darah mengalir, membeku, senjata perang berserakan. Singkat cerita, Raja Badung pun gugur dalam pertempuran dahsyat itu.
Puputan Badung Masa Kini
Kini, tempat perang Puputan Badung itu menjadi Alun-alun Kota Denpasar. Di hari libur, banyak orang jogging, lari pagi, atau sekadar menghirup udara segar dengan mengelilingi lapangan. Ada juga anak-anak muda bermain skateboard. Selain itu, banyak komunitas lainnya yang menjadikan lapangan sebagai ajang berkumpul.
Begitulah. Puputan Badung memang begitu melekat dalam ingatan masyarakat Badung. Bagi masyarakat Bali di Badung, puputan juga berarti sikap mendalam yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur, yaitu ksatria sejati, rela berkorban demi kedaulatan dan keutuhan negeri (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara), membela kebenaran dan keadilan (Nindihin Kepatutan), serta berperang sampai tetes darah terakhir.
Puputan Badung merupakan fakta sejarah tak terbantahkan tentang jiwa kepahlawanan dan keunggalan raja dan rakyat Badung. Berdasarkan bukti-bukti historis yang ada, jelas bahwa raja-raja dan rakyatnya betul-betul tulus ikhlas dan berani melakukan perang “Puputan” sebagai bentuk keputusan bersama untuk mempertahankan kedaulatannya dari keserakahan Belanda.
Semoga, fakta sejarah Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906, akan tetap abadi. Tidak saja dalam catatan sejarah perjalanan negeri ini, namun juga dalam hati sanubari rakyat di seluruh negeri. (HAD)