ERAMADANI.COM, JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan manuver atau menggencarkan konsolidasi politik untuk bangun kekuatan pihak oposisi sambut pilpres 2024 mendatang.
Hal ini dilakukan usai menegaskan sikapnya sebagai pihak oposisi untuk pemerintahan Joko Widodo-Ma’aruf Amin hingga Pilpres 2024 mendatang.
Salah satu agenda terdekat PKS akan menjalin pertemuan dengan Partai Berkarya, Selasa (19/11/2019). Pertemuan dengan ‘Klan Cendana’ itu menjadi konsolidasi kedua.
Dilansir dari CCNindonesia.com, Setelah PKS sebelumnya menjalin pertemuan dengan jajaran elite NasDem beberapa waktu lalu.
Wasisto Raharjo Jati selaku Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pertemuan PKS dan Partai Berkarya akan menjadi sarana bagi keduanya melakukan konsolidasi.
Hal ini dilakukan hanya untuk membangun kekuatan pihak oposisi menghadapi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf selama lima tahun kedepan.
Manuver PKS Tak Ingin beroposisi Sendiri

Manuver itu menandakan bahwa PKS tak ingin beroposisi sendirian selama lima tahun kedepan. Sehingga, mau tak mau PKS harus mengajak atau menggandeng barisan partai lain.
Terutama partai partai yang kini memilih menjadi posisi di luar pemerintahan untuk bergabung dalam barisan oposisi Jokowi.
Terlebih lagi, barisan partai Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang pernah mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 lalu sudah resmi bubar dan kehilangan orientasi.
Bahkan partai Gerindra sendiri sudah masuk dan bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju dibawah pemerintahan Jokowi.
“Pada dasarnya PKS ini tidak mau beroposisi sendiri menghadapi pemerintahan Jokowi sehingga mengajak partai lain bergabung. Hal ini menjadi tolak ukur PKS untuk uji konsistensi dan loyalitas mitra partainya apa tetap setia beroposisi selama lima tahun” kata Wasisto kepada CCNindonesia.com, Senin (18/11/2019).
Tak hanya mendekati parpol lain, PKS juga berencana merangkul kelompok-kelompok berbasis Islam guna memperkuat posisinya sebagai oposisi pemerintahan.
Mardani Ali Sera selaku Ketua DPP PKS mengaku akan mengajak pelbagai elemen masyarakat seperti Presidium Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam (FPI) hingga GNPF Ulama untuk menjadi oposisi pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Pendekatan PKS terhadap kelompok Islam ini bisa menambah daya militansi massa oposan. Sebab, kata Wasis, PKS sendiri tak mungkin hanya memanfaatkan massa ideologisnya untuk menghadapi pemerintahan lima tahun ke depan.
“Tapi juga perlu massa yang lebih besar. Karena itu FPI dan PA 212 diajak,” tutur Wasis.
Strategi tersebut membuat PKS mendapat dua keuntungan secara politis, yakni mengamankan dana dari Tommy Soeharto selaku Ketum Berkarya hingga mendapatkan suara massa mengambang dari militansi ormas FPI maupun PA 212.
“Tapi kerugiannya adalah PKS tidak punya tujuan politik sendiri melainkan hanya jadi batu loncatan kekuatan politik kanan konservatif untuk menekan pemerintah,” ungkapnya
Perlunya Rekonsolidasi Partai

Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto membaca manuver PKS kali ini sebagai pemanasan menuju gelanggang Pilpres 2024. Terlebih, PKS telah menyuarakan niat merangkul Anies Baswedan sebagai salah satu Capresnya.
Bergabungnya Partai Gerindra dalam koalisi pemerintahan praktis mengubah konstelasi politik nasional sehingga partai-partai merasa perlu melakukan rekonsolidasi. Tak terkecuali bagi PKS.
“Menyadari bahwa koalisi politik nasional itu sangat cair sekaligus rentan, sedangkan ruang politik menuju 2024 masih diliputi banyak kemungkinan, mereka berusaha menjajaki persekutuan banyak pihak dengan target antara Pilkada 2020 dan Pilpres 2024,” kata Arif kepada CNNIndonesia.com.
Arif menganggap bubarnya Koalisi Indonesia Adil Makmur, telah membiaskan sikap oposisi partai-partai di luar koalisi pemerintahan Jokowi. Kondisi tersebut telah mendorong PKS mencari cara untuk menciptakan koalisi baru politik.
Arif menyarankan koalisi PKS, Berkarya maupun kelompok-kelompok kanan berbasis keagamaan itu menyepakati isu bersama sebagai landasan kerja sama.
Ia berkaca pada pengalaman Pilpres 2019 lalu ketika jajaran parpol yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Sandiaga justru tak kompak dan saling tumpang tindih dalam memilih isu.
“Itu sangat membahayakan koalisi, karena sebagian mengusung sentimen primordial, sebagian lainnya mengusung romantisisme Orde Baru. Sungguh membingungkan,” tuturnya. (MYR)