ERAMADANI.COM, JAKARTA – Rorano Rahmatullah Safril Abubakar selaku Direktur Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Himpunan Mahasiswa Islam (LKBHMI), menyayangkan sikap Menteri Agama Fachrul Razi yang dinilai kurang memiliki wawasan sejarah.
Dilansir dari Eramuslim.com, hal itu disampaikannya dalam menanggapi sejumlah statemen kontroversial yang kerap dilontarkan Fachrul Razi.
Beberapa pernyataan Fachrul Razi terkesan kontroversial seperti wacana radikalisme, pelarangan cadar maupun penggunaan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara ASN yang belakangan ini sempat heboh.
Menurut Rarano, Fachrul Razi yang notabene seorang mantan militer mestinya dapat memahami sejarah dengan bijak, agar tidak salah kaprah dalam berstatemen.
Seperti statemannya yang menyingung mengenai pengunaan bahasa dalam menjalankan aktivitas beragama.
Menurut Rarano, Fachrul Razi mestinya harus belajar dari sejarah perumusan konsep Piagam Jakarta, dan pertanyaanya daalah kenapa harus ini?
“Sebab dari sanalah kita bisa memahami pergulatan awal terkait pencarian kompromi antara unsur nasionalis dan para tokoh agama. Jadi perlu saya luruskan sedikit bahwa Piagam Jakarta itu merupakan garis besar soal kompromi diantara kaum nasionalis dan tokoh tokoh umat Islam pada waktu itu” kata Rarano kepada wartawan di Jakarta selasa (05/11/2019).
Wawasan Sejarah Soal Tujuh Kata
Itulah sebabnya salah satu isi dari Piagam Jakarta adalah ketahanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, atau yang kerap disitilahkan “tujuh kata”.
“Tafsir ini kemudian menjadi suatu rekonsiliasi antara tokoh nasionalis dengan tokoh tokoh Islam pada saat itu”, bebernya.
Rorano yang juga aktivis HMI itu lalu menceritakan kisah awal penghapusan Tujuh Kata tersebut dalam Piagam Jakarta itu.
“Kenapa poin (Tujuh Kata) ini dihapus saat pengesahan Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945? Apalagi kalau bukan karena hal tersebut membuktikan bahwa Islam memang sudah sangat toleran sejak awal?,” ungkapnya.
Menurut Rarano, Islam yang kini dianggap tidak toleran sebetulnya keliru. Sejarah sudah membuktikan bersedinya tokoh tokoh Islam menghapus Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta.
Menunjukan bahwa mereka memiliki kebesaran hati untuk bergabung dengan NKRI, yang justru nilainya jauh melampaui apa yang kini diinginkan dengan konsep toleransi itu sendiri.
Ia juga menyarakan Fachrul Razi supaya memahami asal muasal munculnya lembaga Kementerian Agama yang menurutnya bermula dari upaya menjembatani konsekuensi penghapusan atas penggalan kalimat (Tujuh Kata) itu.
“Lahirnya Kementerian Agama tidak terlepas dari perjuangan tokoh-tokoh Islam ketika itu yang berupaya mencarikan titik kompromi antara tarikan (ideologi) nasionalis dan agama,” bebernya.
Pria asal Tidore ini, meminta kepada Menteri Agama untuk perbanyak mempelajari wawasan sejarah agar tidak blunder saat memberikan pernyataannya.
“Jadi seorang Fachrul Rozi yang kini didapuk sebagai Menteri Agama berasal dari unsur militer kalau tidak memahami konstruksi sejarah ini sangat disayangkan,” pungkasnya. (MYR)