Jakarta, 30 November 2024 – Menjelang musim haji 1446 H yang dijadwalkan dimulai pada 2 Mei 2025, Komisi Nasional Haji (Komnas Haji) mendesak Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera membahas dan menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Keengganan DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan BPIH, hanya lima bulan sebelum keberangkatan jemaah pertama, menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya penyelenggaraan ibadah haji dan menimbulkan kerugian bagi calon jemaah.
Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menyatakan keprihatinannya atas lambatnya proses penetapan BPIH. "Waktunya sudah sangat mepet," tegas Siradj dalam rilis yang diterima redaksi. "Saya khawatir jika persiapan tidak maksimal, penyelenggaraan haji bisa terganggu. Calon jemaah membutuhkan kepastian biaya dan jadwal keberangkatan secepatnya. Minimnya sosialisasi dan pengumuman mendadak terkait biaya haji dapat mengakibatkan banyak calon jemaah yang tidak mampu melunasi biaya, sehingga kuota haji pun tidak terserap secara optimal."
Persiapan penyelenggaraan ibadah haji memang membutuhkan perencanaan yang matang dan detail. Proses ini melibatkan berbagai aspek teknis yang kompleks, mulai dari pengurusan visa dan paspor, pengaturan penerbangan, penjaminan aspek kesehatan jemaah, penyediaan konsumsi, pemondokan, transportasi di Tanah Suci, hingga pelaksanaan manasik haji. Semua aspek tersebut membutuhkan biaya yang signifikan dan harus dihitung secara cermat untuk diintegrasikan ke dalam komponen BPIH.
BPIH sendiri terdiri dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung langsung oleh calon jemaah, dan nilai manfaat dana haji yang disubsidi oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Setelah Komisi VIII DPR RI mencapai kesepakatan dengan Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPH), dan BPKH, hasil kesepakatan tersebut akan diajukan kepada Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Keppres ini akan menjadi payung hukum bagi penetapan BPIH, termasuk jumlah kuota haji reguler dan haji khusus. Penting untuk diingat bahwa penetapan BPIH harus mendapat persetujuan DPR RI.
Keterlambatan penetapan BPIH berdampak serius pada berbagai kontrak yang harus segera dijalin dengan pihak penyedia layanan di Arab Saudi. Kontrak untuk pemondokan di Mekkah dan Madinah, penyediaan konsumsi, transportasi, layanan kesehatan, dan khususnya pemondokan di Arafah dan Mina untuk pelaksanaan ibadah di Jamarat, harus segera diselesaikan. Keterlambatan akan berisiko menempatkan jemaah haji di lokasi yang jauh dari pusat-pusat kegiatan ibadah utama, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan lokasi-lokasi vital lainnya di Mina.
Hal ini akan menimbulkan kesulitan yang signifikan, terutama bagi jemaah lanjut usia (lansia) dan jemaah dengan risiko kesehatan tinggi. Petugas pendamping pun akan membutuhkan upaya ekstra untuk memberikan pendampingan yang optimal. Pemerintah Arab Saudi sendiri menerapkan sistem "first come, first served," yang berarti negara yang cepat melakukan kontrak akan mendapatkan layanan dan lokasi yang lebih strategis. Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah, dalam pertemuannya dengan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, mengajak Indonesia untuk segera menyelesaikan kontrak-kontrak tersebut, karena keterlambatan akan berakibat pada hilangnya kesempatan mendapatkan lokasi yang ideal.
"Di setiap musim haji, Indonesia dan berbagai negara lain bersaing ketat untuk mendapatkan tempat strategis yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji," jelas Mustolih Siradj, yang juga seorang dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Saat ini, kewenangan untuk membahas BPIH berada di tangan Komisi VIII DPR RI. Komisi ini bertanggung jawab untuk memanggil Kemenag, BPH, dan BPKH untuk melakukan pembahasan dan negosiasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kemenag tetap menjadi leading sector penyelenggaraan haji 2025 karena UU tersebut belum direvisi. Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 menempatkan BPH pada posisi supervisi dan koordinasi.
Terkait dengan wacana BPH menjadi leading sector setelah revisi UU Nomor 8 Tahun 2019, yang direncanakan tahun depan, Mustolih Siradj menegaskan, "Dalam hierarki perundang-undangan, UU berada di atas Perpres. Oleh karena itu, Komisi VIII tidak perlu mempertentangkan kewenangan Kemenag dan BPH. Siapa yang bertanggung jawab dan menjadi pelaksana sudah diatur dengan jelas dalam undang-undang."
Komnas Haji berharap penyelenggaraan ibadah haji 2025 dapat berjalan lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Musim haji tahun ini menjadi yang pertama di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dan diharapkan dapat terselenggara dengan aman, nyaman, dan sukses. Keberhasilan penyelenggaraan haji tidak hanya bergantung pada persiapan teknis yang matang, tetapi juga pada kerja sama yang efektif antara DPR, Kemenag, BPH, BPKH, dan seluruh stakeholder terkait. Keterlambatan dalam penetapan BPIH berpotensi menimbulkan dampak negatif yang luas, sehingga percepatan proses pembahasan menjadi sangat krusial untuk memastikan kelancaran dan kenyamanan ibadah haji bagi seluruh jemaah Indonesia. Proses ini memerlukan komitmen dan tanggung jawab bersama dari semua pihak yang terlibat. Keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab bersama dan menjadi cerminan kualitas pelayanan negara kepada rakyatnya.