ERAMADANI.COM, DENPASAR – Bagi para SingleLillah yang hendak melepas masa lajangnya, ada kisah menarik nih yang bisa dipetik dari orang tua Shalahuddin Al Ayyubi.
Tau kan siapa Shalahuddin Al Ayubbi?
Bagi yang belum kenal, Shalahuddin Al Ayyubi adalah seorang ulama, ksatria, pemimpin, prajurit yang sangat dikenal atas jasanya terhadap dunia Islam.
Nama aslinya adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi, seorang Muslim bersuku Kurdi yang berasal dari daerah Tikrit (Sekarang negara Irak). lahir di kisaran tahun 1138 Masehi. Shalahuddin menjadi julukannya ketika dewasa.
Ayahnya bernama Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh. Mereka berdua bermigrasi meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit. Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit.
Singkat cerita, Shalahuddin pun tumbuh menjadi seorang alim ulama yang mampu memimpin pasukan militer terkuat Ummat Islam di masa Perang Salib. Kisah heroiknya dikenang kuat ketika berhasil mengalahkan Balian De Ibelin, salah satu penglima terpenting dalam perang Salib.
Kekalahan tersebut berujung pada diserahkannya daerah Yerusallem yang sebelumnya dikuasai pasukan Salib ke tangan Ummat Islam. Sebuah pijakan baru dimana Ummat Islam bisa kembali mengelola daerah yang disucikan Allah Subhana Wa Ta’ala dan RasulNya.
Daerah itu disebut tanah suci Al-Quds. Lokasi bertolaknya Rasulullah ke langit ketujuh. yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis, kiblat pertama Ummat Islam sebelum Ka’bah, Mekkah.
Shalahuddin pun menjadi patriot yang dikenal bukan hanya karena karir militernya. Tapi juga karena jiwa Musliminnya yang luar biasa. Sebuah bukti bahwa seorang ulama (ahli ilmu) adalah orang yang paham ilmu agama dan siap mengaplikasikan ilmunya dalam ber-muamalah (beraktivitas sosial).
Namun tahukah anda bahwa sifat patriotik-agamis Shalahuddin Al Ayyubi tersebut sudah terukir semenjak dirinya belum dilahirkan? Bahkan sebelum orang tuanya saling bertemu lho… Mari kita simak kisah selengkapnya!
Kisah orang tua Shalahuddin Al Ayyubi
Dilansir dari ISLAMPOS, Najmuddin Ayyub, sang penguasa Tikrit yang akan menjadi ayah Shalahuddin tersebut masih men-“Jomblo” hingga di usia paruh baya-nya. Pamannya, Asaduddin pun mulai khawatir atas status jomblo yang dialami keponakannya tersebut.
Asaduddin pun bertanya, “Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?” Najmuddin pun menjawab, “Aku belum menemukan yang cocok!”, ujarnya dalam diskusi singkat terebut.
Asaduddin pun mencoba membantu, “Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?” ujarnya. “Dia adalah Puteri Malik Syah, anak seorang Sultan Muhammad bin Malik Syah yang merupakan Raja Bani Saljuk. atau juga pada putri Nidzamul Malik, seorang menteri dari para menter agung Abbasiyah”. tekan Asaduddin meyakinkan saudaranya tersebut.
Najmuddin menjawab, “Mereka juga tidak cocok denganku”. Asaduddin pun bingung akan idealisme Najmuddin tersebut, ia telah menawarkan perempuan terbaik menurutnya yang ada pada zaman tersebut, namun keponakannya masih belum tertarik sama sekali.
Asaduddin bertanya, “lantas siapa yang cocok bagimu?”, seketika Najmuddin pun menjawab dengan lantang. Ini jawabnya:
“Aku menginginkan istri yang shalihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria yang mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”
Jawaban itu cukup mengejutkan Asaduddin, namun responnya kurang positif. Asaduddin yang memang sudah mengetahui sifat teguh hati saudaranya tersebut menjawab sinis, “Dimana kau mau mendapatkan perempuan yang seperti itu?”. Najmuddin menjawab, “Barang siapa ikhlas niat karena Allah akan Allah karuniakan pertolongan.”.
Pembicaraan tersebut pun berhenti sampai disana, berujung pada ketidak-pastian.
Hasil Pencarian Najmuddin Dalam Ketundukannya
Selang beberapa hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di masjid Tikrit dan berbincang-bincang disana. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai dan Syaikh tersebut berbicara dengan si gadis itu.
Tanpa sengaja Najmuddin mendengar Syaikh berkata pada gadis itu, “Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?” Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.”
Syaikh itu pun bertanya, “Siapa yang kau inginkan?”, Perempuan tersebut dengan tegas mengungkapkan:
“Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin”
Bagai tersambar petir, Najmuddin tersentak mendengar kata-kata perempuan tersebut. Allahu Akbar! itulah kalimat yang persis diucapkan Najmuddin pada pamannya beberapa waktu lalu. Sebuah insiden yang sangat mustahil terjadi jika tidak ada campur tangan Allah.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا, وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“… Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)
Begitulah ayat Thalaq 2-3 ini bekerja. Bagaimanapun juga kejadian tersebut adalah rezeki yang tidak disangka oleh Najmuddin. Sebagaimana ayat tersebut juga menjelaskan bahwa Najmuddin bukanlah orang biasa. Dapat diduga bahwa Najmuddin memanglah orang yang bertakwa sehingga Allah bisa memudahkan jalannya tersebut.
Sebagaimana pula perempuan yang ia temui bukanlah juga perempuan biasa, perempuan yang berani menolak lamaran dari pria kaya, tampan dan bernasab hebat (putra sultan) demi alasan yang terlihat mustahil. Pastilah perempuan bertakwa yang berjiwa besar.
Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah dengan gadis ini, ini yang aku inginkan. istri shalihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
Perempuan tersebut menyetujuinya dan syaikh pun memediasi hubungan mereka hingga berlanjut ke jenjang pernikahan.
Hikmah Yang Dapat Dipetik
Selang peristiwa tersebut, Shallahuddin Al Ayyubi pun dilahirkan dari dua insan sholeh-sholehah yang punya keinginan besar di masa depan. Keinginan yang akan diwujudkan anaknya 49 tahun kemudian.
Sebuah awal kisah sebenarnya dari momentum 2 Oktober 1187, momen praktis dimana 52 kota dan istana di dalam dan sekitar Yerusalem jatuh ke tangan Shalahuddin atas kuasa Allah. Penaklukkan yang dilakukan oleh ulama besar hasil didikan orang tua Sholeh dengan visi misi yang visioner.
Pada masa sekarang, alangkah baiknya jika kita semua dapat mengambil teladan dari orang tua Shalahuddin Al Ayyubi tersebut. Saat ini menikah muda menjadi fenomena yang lumrah di masyarakat.
Hal tersebut terjadi pula karena faktor kerusakan muda-mudi yang makin menjamur pada zaman ini. Pengaruh globalisasi kerap menunjukkan sisi negatifnya sehingga membuat banyak muda-mudi yang berujung pada kenakalan. Sehingga nikah muda kerap di gaungkan sebagai solusi.
Hal tersebut sungguh baik dan bisa menjadi solusi dari kelamnya pergaulan muda-mudi zaman now. Namun alangkah lebih baik lagi jika kita memikirkan visi-misi pernikahan kita dengan jelas sebelum memutuskan untuk menikah.
Para aplikator pernikahan yang tua maupun muda sangat perlu untuk menentukan dulu visi misinya ketika hendak menikah. Sebuah pandangan dan tujuan yang ia kerjakan melalui pernikahannya tersebut. Sehingga pernikahannya memiliki tujuan yang pasti, bukan sekedar tumbuhnya rasa cinta yang membuatnya ingin hidup bersama.
Alhamdulilah bahwasannya kita dikenalkan dengan kisah Najmuddin Ayyub di masa ini. Kisah tersebut bisa menjadi motivasi kita untuk bisa menciptakan generasi pembangkit Islam di masa mendatang. Sebuah alasan untuk kita agar bisa memberikan manfaat besar dari pernikahan kita.
Semoga dengan penentuan visi misi yang tepat, serta penerapannya yang dilakukan dengan baik, kita bisa membentuk generasi Shalahuddin Al Ayyubi berikutnya di masa mendatang, Wallahu Alam Bishawab. (RAB)