ERAMADANI.COM, JAKARTA – Rabu (11/12/2019) kemarin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim paparkan wacana untuk hapus UN dan gemakan program “Merdeka Belajar”.
UN Sebagai Serpihan Sejarah Pendidikan Bangsa
UN atau Ujian Nasional seakan telah menjadi “trademark” atau ikon sistem pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraannya sering berujung pada kontroversi serta hasilnya yang dinilai masih kurang maksimal menjadi catatan besar dalam penyelenggaraannya selama ini.
Embrio dari sistem UN sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak sangat lama. Tahun 1950 lalu, pemerintahan Orde Lama menginisiasi program Ujian Penghabisan. Dilansir dari Kumparan, sistem itu berjalan hingga tahun 1964 dan diganti namanya menjadi Ujian Negara.
Jika pada sistem Ujian Penghabisan, soal dari setiap rayon ujian berbeda-beda namun diperiksa oleh satu Koordinator di tiap rayon, Ujian Negara pertama kali memperkenalkan satu naskah soal untuk satu negara.
Tahun 1972, selama 7 tahun pemerintah pernah menerapkan sistem Ujian Sekolah. Dimana semua aspek peniliaian, soal, dan indikator kelulusan ditentukan setiap seklah secara masing-masing. Pemerintah berperan sebagai penyedia pedoman dan memastikan berjalannya sistem tersebut sesuai pedoman.
Sistem UN yang paling menyerupai hari ini dimulai tahun 1980 saat pemerintah mengenalkan sistem EBTA dan EBTANAS. EBTA ialah singkatan dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir yang dilakukan oleh sekolah. EBTA Nasional atau EBTANAS yang dilakukan oleh pemerintah.
Seiring berjalannya waktu, hingga resmi bernama UN di tahun 2005 dan berjalan hingga 2020 nanti, perubahan hanya berkutat pada variasi sistem penyelenggaraan saja. Garis besarnya sangat serupa.
Hapus UN dan Dikenalkannya Model Baru Pendidikan Indonesia
Dilansir dari KOMPAS, ada empat program pembelajaran nasional yang ditetapkan oleh Nadiem Makarim. Dirinya menyebut empat program ini sebagai kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”.
“Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional ( UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi,” ujar Nadiem di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
“Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” tutur Nadiem.
Kemudian Nadiem juga menjelaskan secara rinci keempat program yang ditetapkan.
Pertama, mengenai USBN pada 2020 akan mulai dilaksanakan kebijakan baru tentang penyelenggaraan nya. Jika sebelumnya dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, nantinya semua diserahkan kepada sekolah.
Ujian dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif. Sebut saja seperti portofolio dan penugasan, baik itu tugas kelompok, karya tulis, maupun sebagainya.
“Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa,” ucap Nadiem.
“Anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran,” kata dia.
Menyongsong Akhir Kisah UN Di Indonesia
Kedua, mengenai UN, Nadiem menegaskan tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya.
“Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi). Kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” ujar dia.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11). Sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.
Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
“Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS,” kata Nadiem.
Ketiga, untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen.
Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.
“Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup,” kata Nadiem.
Keempat, dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Menurut Nadiem, Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.
“Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Mendikbud.
Dengan adanya empat arah kebijakan ini, Nadiem berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan.
“Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru,” tuturnya. (Iaa)