Jakarta – Sebuah kisah hikmah yang telah turun temurun dikisahkan, menceritakan tentang seorang murid Nabi Musa AS yang mengalami azab ilahi berupa transformasi menjadi seekor kelinci. Kisah ini, yang dirangkum dari buku "Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh" karya Nur Hasan, bukan sekadar dongeng, melainkan pelajaran berharga tentang bahaya mengeksploitasi agama untuk kepentingan duniawi. Ia menjadi pengingat keras bagi setiap individu yang mengaku beriman, untuk senantiasa menjernihkan niat dan mengedepankan keikhlasan dalam beribadah.
Kisah ini bermula dari seorang pemuda cerdas dan berdedikasi, seorang murid kesayangan Nabi Musa AS. Pemuda ini, yang namanya tak disebutkan dalam riwayat, merupakan sosok yang tekun menuntut ilmu agama dari sang Nabi. Ia menyerap setiap ajaran dengan penuh semangat, menunjukkan kehausan akan pengetahuan ilahi dan ketaatan yang tulus. Kedekatannya dengan Nabi Musa AS menunjukkan potensi besar untuk menjadi pemimpin agama yang berwibawa dan bijaksana.
Namun, jalan menuju kesempurnaan tak selalu mulus. Suatu hari, pemuda ini memohon izin kepada Nabi Musa AS untuk pulang ke kampung halamannya. Ia menyatakan kerinduannya kepada keluarga dan kampung halaman, menjanjikan akan kembali setelah mengunjungi mereka. Nabi Musa AS, yang melihat ketulusan di mata muridnya, memberikan izin dengan penuh keraguan namun disertai doa restu.
Kepulangan pemuda ini, namun, menandai titik balik dalam kehidupannya. Setibanya di kampung halaman, ia tidak langsung menemui keluarganya. Sebaliknya, ia memilih untuk memanfaatkan pengetahuannya agama untuk kepentingan pribadi. Ia mulai berceramah di depan khalayak, menyampaikan ajaran-ajaran yang telah ia serap dari Nabi Musa AS. Keahliannya dalam berorasi dan pemahamannya yang mendalam tentang agama memikat hati banyak pendengar. Ia berhasil memukau massa dengan khotbah-khotbah yang memukau, menarik perhatian dan kekaguman banyak orang.
Namun, di balik penampilannya yang kharismatik, tersimpan niat yang tercela. Bukannya menyebarkan ajaran agama secara ikhlas, ia justru memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih keuntungan materi. Setiap selesai berceramah, ia menerima imbalan yang berlimpah. Uang dan harta benda mengalir deras ke tangannya, menutupi niat suci yang seharusnya menjadi landasan dakwahnya.
Lambat laun, kekayaan yang ia kumpulkan semakin melimpah. Ia terlena oleh gemerlap dunia, lupa akan janjinya kepada Nabi Musa AS, dan meninggalkan jalan kebenaran yang pernah ia tetapkan. Harta benda yang tadinya hanya menjadi alat untuk mempermudah dakwah, kini menjadi tujuan utama kehidupannya. Ia terjebak dalam lingkaran setan keserakahan dan ketamakan, mengabaikan nilai-nilai spiritual yang pernah ia pelajari.
Sementara itu, Nabi Musa AS semakin cemas menunggu kembalinya murid kesayangannya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, namun pemuda itu tak kunjung muncul. Rasa khawatir dan kebingungan menyelimuti hati sang Nabi. Ia mencari informasi ke mana-mana, menanyakan keberadaan muridnya kepada orang-orang yang ia temui. Namun, semua usaha itu sia-sia. Tak ada yang mengetahui keberadaan pemuda tersebut.
Suatu hari, ketika Nabi Musa AS sedang beristirahat, ia melihat seorang pria sedang menggiring seekor kelinci. Ada sesuatu yang menarik perhatian sang Nabi pada kelinci tersebut. Ia merasa ada yang aneh dan tidak biasa pada hewan itu. Rasa ingin tahu yang kuat menggerakkan Nabi Musa AS untuk mendekati pria tersebut dan bertanya.
Percakapan di antara mereka mengungkap fakta yang mengejutkan. Pria itu mengatakan bahwa kelinci yang digiringnya adalah murid Nabi Musa AS yang telah lama hilang. Ia menjelaskan bahwa transformasi itu merupakan azab dari Allah SWT atas perbuatan murid tersebut yang telah menyalahgunakan agama untuk kepentingan duniawi.
Mendengar penjelasan itu, Nabi Musa AS terkejut dan terpukul. Ia tak percaya bahwa muridnya yang pernah sangat cerdas dan berdedikasi itu telah jatuh ke dalam jerat keserakahan dan akhirnya menerima azab seberat itu. Dengan hati yang penuh harap, Nabi Musa AS berdoa kepada Allah SWT untuk mengembalikan wujud asli muridnya, agar ia dapat bertanya tentang perbuatannya.
Namun, doa Nabi Musa AS tidak diijabah. Allah SWT menjelaskan bahwa meskipun semua nabi dari Adam hingga Muhammad SAW memohon hal yang sama, permohonan itu tidak akan diijabah. Allah SWT menegaskan bahwa azab itu diberikan karena murid tersebut telah menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai keuntungan duniawi. Ia telah menodai kesucian agama dengan keserakahannya.
Allah SWT menyatakan kebencian-Nya terhadap orang-orang yang memanfaatkan agama hanya untuk kepentingan dunia. Agama, menurut Allah SWT, bukanlah komoditi yang dapat diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan materi. Agama adalah jalan hidup yang mengarah kepada kebaikan di dunia dan akhirat. Ia adalah pedoman hidup yang menuntun manusia kepada kehidupan yang lebih bermakna dan bertujuan.
Kisah murid Nabi Musa AS yang menjadi kelinci ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi semua umat. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya keikhlasan dan kesucian niat dalam beragama. Kita harus selalu waspada terhadap godaan duniawi yang dapat menyesatkan kita dari jalan yang benar. Harta benda dan kekayaan duniawi hanya sementara, sedangkan pahala dan ridho Allah SWT adalah sesuatu yang abadi.
Kisah ini juga mengingatkan kita tentang kemahakuasaan Allah SWT. Tidak ada yang dapat menipu Allah SWT. Setiap perbuatan kita, sebaik apapun penampilan luar kita, akan diperhitungkan oleh-Nya. Oleh karena itu, marilah kita selalu berhati-hati dalam bertindak dan berusaha untuk menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang benar, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi. Wallahu a’lam bishawab.