ERAMADANI.COM, DENPASAR – Nampaknya RUU Provinsi Bali tak habis habisnya di perbincangan di berbagai kalangan, sehingaa Gubernur Bali Wayan Koster harus menegaskan bahwa pengajuan pembahasan RUU Provinsi Bali ke DPR RI bukan untuk membentuk daerah otonomi khusus.
Dilansir dari Republika.co.id, melainkan pengajuan RUU Provinsi Bali tersebut untuk memperkuat otonomi di tingkat kabupaten/kota, agar lebih baik ke depanya.
“Otonomi tetap di tingkat kabupaten/kota, dan melalui RUU Provinsi Bali, kami harapkan justru ketimpangan kabupaten/kota di Bali segera teratasi,” kata Koster saat menemui Badan Legislasi DPR RI untuk melakukan presentasi RUU Provinsi Bali, di Jakarta, Jumat (07/02/2020).
Gubernur mengemukakan tujuannya mendatangi Badan Legislasi DPR RI untuk mempercepat meloloskan RUU Provinsi Bali.
Sebelumnya Koster juga telah mendatangi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Pihaknya berhasil mengantongi rekomendasi dukungan dari Mendagri Tito Karnavian pada Desember 2019 lalu. Selain itu juga rekomendasi dukungan dari DPD RI serta dukungan dari Komisi II DPR RI.
Pertemuan yang berlangsung di Gedung Nusantara I DPR RI ini, Koster bersama rombongan yang terdiri dari bupati/wakil bupati se-Bali.
Pimpinan DPRD Provinsi, Ketua DPRD kabupaten/kota, tokoh politik, para rektor, para ketua organisasi umat lintas agama dan tokoh adat.
Mereka diterima oleh Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas didampingi Putra Nababan, Arif Wibowo dan Kariasa Adnyana.
Alasan Pengajuan RUU Provinsi Bali Bukan Untuk Bentuk Daerah Otonomi Khusus
Gubernur Koster menyebutkan sejumlah alasan mendasar terkait pengajuan RUU Provinsi Bali, yang bukan untuk bentuk daerah otonomi khusus.
Salah satu alasan yang termasuk fundamental ialah bahwa Bali dibentuk dengan dasar Undang-Undang.
Yaitu Undang- Undang 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Jika dilihat, masih berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Padahal saat ini, Indonesia menggunakan UUD 1945 dengan bentuk negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan berbentuk federal seperti halnya zaman RIS.
“Jadi (UU No 64 Tahun 1958) sudah tidak relevan lagi. Saat itu (RIS), misalnya namanya masih Sunda Kecil dan Ibu Kotanya di Singaraja. Dan ibu kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar. Sekarang kita kan NKRI, Bali bagian NKRI. Jadi kalau pakai Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1950, Bali, NTB dan NTT kan negara bagian (Federal). Jadi undang-undang ini memang harus diubah,” ucapnya.
Jika Undang Undang di ubah, bukan berarti untuk membentuk daerah otonomi khusus, melainkan untuk menuju kepada perubahan yang baik.
Selain tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 dan NKRI, sejumlah produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur dalam konsiderannya masih mengacu pada UU Nomor 64 Tahun 1958 yang sebetulnya sudah tak berlaku lagi.
“Ini pertimbangan utama, karena Undang-Undang ini masih berlaku, sehingga setiap produk hukum di daerah Bali, kami masih gunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 yang secara substansi tidak bisa dilakukan sebagai rujukan sehingga tidak sesuai dengan hukum tata negara,” ujarnya.
Menurutnya pula UU Nomor 64 Tahun 1958 sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan daerah Bali. (MYR)