ERAMADANI.COM, JAKARTA – Awal tahun 2020, masyarakat internasional dibuat waspada akan penyabaran Covid-19 (virus corona). Fenomena ini berdampak pada hampir segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah mempengaruhi tingkah kita dalam menjaga kesehatan.
Dilansir dari Republika.co.id, kebanyakan masyarakat kini lebih mengingat pentingnya kesehatan untuk diri sendiri saja. Sedari kecil ada satu hal yang terus menerus diajarkan. Menjaga kebersihan adalah sebagian dari iman.
Menjaga kebersihan, di waktu kecil, tentu dimulai dari hal paling sederhana; mencuci tangan sebelum makan dan mandi yang bersih.
Etika Kesehatan dan Kebersiahan
Saat wabah corona meluas, masyarakat kembali diingatkan akan perilaku hidup bersih dan sehat (Kesahatan) atau PBHS. Sayangnya, masyarakat mengingat perilaku bersih dan sehat hanya sebatas kebersihan dirinya.
Buktinya, hand sanitizer diborong habis. Sabun antiseptik pun dibeli banyak-banyak. Begitu juga dengan masker, vitamin penambah daya tahan tubuh, hingga jahe dan rempah alami yang disebut sebagai obat alami penguat tubuh.
Mungkin banyak yang lupa penyakit bisa lemah kalau banyak orang yang kuat alias herd immunity atau perlindungan dari wabah ataupun penyakit karena ada persentase besar dari komunitas masyarakat yang sudah imun atau memiliki antibodi kuat.
Konsep herd immunity dikenalkan pada awal abad ke-20 oleh ilmuwan Inggris bernama Major Greenwood. Konsep imunitas dalam kelompok yang kuat membuat penyakit bisa dieliminasi tanpa harus memvaksin semua orang dalam populasi.
Lalu, ketika Anda memborong masker hanya untuk Anda, sementara Anda membiarkan orang lain di sekeliling sakit, batuk misalnya, dan ia berkeliaran tanpa masker, bukan tidak mungkin Anda tidak akan tertular.
Hal yang sama terjadi ketika Anda memborong jahe untuk membuat empon-empon atau jamu ataupun memborong hand sanitizer.
Bahkan menimbun sembako karena ketakutan akan virus corona. Apa yang terjadi ketika ada tetangga sakit yang lebih butuh vitamin? Bukankah akan lebih mudah ketika semua orang bisa kebagian, lalu semua orang bisa menjaga kesehatan tubuhnya?
Mana yang lebih baik, satu orang yang sehat atau 100 orang yang sehat?
Spesialis Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad, mengatakan, virus corona dapat dicegah dengan gaya hidup sehat. Menurut dia, tingkat fatalitas Covid-19 jauh lebih rendah dibanding SARS maupun MERS-CoV. Karena itu, ia menekankan bahwa perilaku hidup bersih, olahraga, serta makan makanan bergizi mampu mencegah tubuh tertular penyakit tersebut.
Ia menekankan, penyakit seperti ini akan lebih efektif dicegah dengan cara rajin mencuci tangan setiap beraktivitas, baik menggunakan sabun mengandung antiseptik maupun hand sanitizer yang berbasis alkohol.
Sekali lagi diingatkan, hidup sehat pun ada etikanya. Ketika Anda batuk atau bersin, tutup mulut. Lakukan elbow cough atau batuklah dengan mulut yang tertutup lengan.
Praktik ini akan lebih efektif menghindari penyebaran penyakit karena Anda tidak mungkin makan atau membuka pintu atau melakukan hal lain dengan lengan, kan? Setidaknya Anda tidak menulari penyakit Anda lewat tangan-tangan Anda yang menyentuh banyak hal.
Jika menggunakan tisu untuk menutup bersin, setelah itu tisu harus segera dibuang ke tempat sampah yang tertutup. Jadi, jangan menggunakan tisu untuk menutup bersin tetapi tisu bekas dipakai tidak dibuang.
Corona tidak menular melalui udara secara langsung. Corona menular melalui percikan atau droplet dari mulut atau hidung. Artinya, yang perlu menggunakan masker memang yang sedang merawat atau sedang sakit untuk mencegah percikan.
Satu lagi adab sehat yang harus diingat, jangan sembarang meludah di tempat umum. Percikan dari air ludah yang terbuang juga bisa menimbulkan penyakit.
Masyarakat Indonesia selama ini memang belum terbiasa menerapkan etika saat batuk, bersin, maupun meludah. Dekan Fakultas Kedokteran.
Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Prof Ova Emilia, mengatakan, peringatan untuk beretika dalam kesehatan perlu selalu diingatkan. Sebab, masyarakat belum sepenuhnya sadar.
Ia menilai, masyarakat Indonesia masih belum sadar bahwa mengeluarkan cairan dari tubuh itu memiliki potensi bahaya. Kita, Ova melanjutkan, malah lebih sering menstigmatisasi dan mengucilkan mereka yang seharusnya mendapat bantuan. (IAA)