ERAMADANI.COM, JAKARTA – Ketegangan Indonesia dengan China di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) RI, dekat perairan Natuna, Kepulauan Riau, mencuat dalam beberapa waktu terakhir, hingga Armada Pengamanan Laut Nusantara.
Musababnya, kapal nelayan China yang dikawal Coast Guard terdeteksi menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia, pada Desember 2019.
Negeri Tirai Bambu mengklaim memiliki hak di perairan yang masuk ZEE Indonesia berdasarkan peta Traditional Fish Ground mereka.
Kawasan laut utara Natuna berdasarkan Konvensi PBB terkait Hukum Kelautan (UNCLOS 1982) memang masuk kawasan ZEE Indonesia.
Tak tinggal diam, RI mengirim armada kapal perang TNI AL. Tak tanggung-tanggung, tiga kapal perang dikirim yakni KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman Harun (USH) 359, hingga KRI Jhon Lie 358.
Namun, langkah menempatkan kapal perang dalam gesekan di ZEE Indonesiadinilai sejumlah pihak kurang tepat.
Natuna dan Armada Pengamanan Laut Nusantara
Dilansir dari CNNIndonesia.com, pengajar Studi Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi mengatakan pemerintah seharusnya mengirim kapal-kapal.
Terutama Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk menghalau kapal nelayan asing, bukan kapal perang milik militer.
“Akhirnya lucu seperti kemarin, dari China, yang ngamanin (kapal nelayan) Coast Guard-nya, dari kita TNI AL. Kalau misalnya Coast Guard (yang turun), ya lawannya Bakamla,” kata Muradi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/01/2020).
Muradi mengatakan kondisi ini semakin memperlihatkan kekuatan Bakamla belum sebanding dengan China. Terlebih perairan Indonesia ini bukan hanya Natuna, tetapi mulai dari Sabang sampai Merauke.
“Kenapa yang maju TNI AL? Karena Coast Guard kita, Bakamla tidak cukup representatif punya alutsista ataupun fasilitas, yang kurang memada,” ujarnya.
Muradi mendorong pemerintah memperkuat Bakamla, yang baru terbentuk setelah ada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Keberadaan Bakamla juga diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bakamla RI.
Penambahan armada kapal untuk BAKAMLA
Menurut Muradi, salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah penambahan armada kapal untuk Bakamla.
Ia mengatakan dengan perairan Indonesia yang luas, Bakamla setidaknya harus memiliki sekitar 600 unit kapal berbagai ukuran.
Hal ini, kata Muradi perlu dilakukan pemerintah agar pemantauan keamanan laut Indonesia berjalan efektif.
“Jadi mulai yang paling besar, selevel KRI dengan persenjataan disesuaikan, sampai kemudian patroli yang sifatnya kapal ringan, itu mungkin lebih dari 600 unit. Dorong pengadaan kapal besar, kapal sedang, kapal ringan,” tuturnya.
Muradi tak ingin Bakamla terus bergantung pada TNI untuk mengamankan wilayah laut. Menurutnya, Bakamla harus menjadi lembaga mandiri, khususnya terkait dengan kepemilikan kapal dan peralatan pendukung lainnya.
“Bakamla harus punya entitas sendiri. Dia tidak tergantung dengan TNI AL, dia berdaya dengan dirinya sendiri,” katanya.
Bakamla Ujung Tombak
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan lebih besar daripada luas daratannya.
Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km persegi, yang terdiri dari 2,01 juta km persegi daratan, 3,25 juta km persegi lautan, dan 2,55 juta km persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Dalam menjaga keamanan perairan, baik di wilayah teritori 12 mil dari lepas pantai dan ZEE 200 mil dari lepas pantai, terdapat sejumlah instansi yang memiliki tugas beririsan di wilayah perairan RI tersebut.
Selain TNI, instansi tersebut antara lain Bakamla, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud), hingga Marine Customs Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Masing-masing instansi tersebut memiliki kekuatan armada yang berbeda.
Bakamla sampai saat ini baru memiliki sekitar 40 unit kapal berbagai jenis, salah satunya kapal markas berukuran 110 meter. KPLP punya sekitar 378 unit kapal, di antaranya 7 unit kapal kelas I berukuran 60 unit.
Sementara PSDKP memiliki sekitar 34 unit kapal dan 96 unit speedboat. Polairud memiliki sekitar 113 unit kapal, dan Marine Customs Bea Cukai memiliki sekitar 182 unit kapal.
Sejumlah instansi tersebut umumnya memantau kegiatan perhubungan, pelayaran, hingga perdagangan.
Memperkuat BAKAMLA
Pengamat Institute Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyatakan pemerintah perlu memprioritaskan penguatan armada untuk instansi di luar TNI, seperti Bakamla dan PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Apalagi kalau kita lihat potensi-potensi ancaman atau gangguan keamanan di ZEE ini sebagian besar kan bersifat nonmiliter ya, itu jadi saya kira perlu,” kata Khairul kepada CNNIndonesia.com.
Khairul menyebut dua lembaga itu adalah otoritas sipil yang mempunyai kewenangan pengawasan dan penindakan terkait keamanan dan pelanggaran hukum di laut, khususnya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya di perairan tersebut.
Menurut Khairul, secara ideal Bakamla dan otoritas sipil lainnya seperti PSDKP, KPLP, hingga Marine Customs Bea Cukai dalam menjalankan tugas dan fungsinya tak boleh lagi banyak bergantung pada kekuatan dan kemampuan armada TNI.
Oleh karena itu, kata Khairul, ketimbang memprioritaskan pembangunan pangkalan militer dan menambah armada kapal TNI Angkatan Laut, pemerintah sebaiknya memperkuat Bakamla sebagai Coast Guard Indonesia.
Ia pun mencontohkan China dan Vietnam yang mengawal kapal-kapal nelayannya melakukan aktivitas ilegal di ZEE Indonesia dengan menggunakan Coast Guard, bukan mengerahkan militernya.
“Jadi kalau kita mau benar-benar serius mau melakukan pengawasan di sana (laut), kita perkuat Bakamla kita sebagai ujung tombak dari upaya-upaya pengamanan di laut ini,” ujarnya.
Khairul menyebut Bakamla perlu menambah jumlah kapal dengan spesifikasi yang hampir setingkat KRI. Kapal-kapal Bakamla juga perlu dilengkapi senjata untuk membela diri.
Menurutnya, armada yang perlu ditambah antara lain kapal patroli untuk menjangkau wilayah perairan Indonesia yang luas dan kapal ukuran besar yang bisa menjangkau laut dalam di ZEE Indonesia.
Selain menambah jumlah armada, lanjut Khairul, pemerintah perlu membangun pos pemantauan di pulau-pulau kecil Indonesia.
Menurutnya, pulau-pulau kecil itu bisa dimanfaatkan untuk pos pemantauan agar lebih dekat menjangkau lokasi jika terjadi pelanggaran.
“Artinya selain memperkuat armada juga menambah pangkalan-pangkalan atau pos pos pengawasan di banyak titik terluar ini,” ujarnya.
UU Keamanan Laut
Lebih lanjut, Khairul menyoroti payung hukum untuk menjadikan Bakamla sebagai ujung tombak pengamanan perairan Indonesia. Ia menyebut Indonesia perlu memiliki Undang-Undang tentang Keamanan Laut.
Khairul pun mendukung langkah pemerintah yang berencana membuat rancangan Undang-Undang Omnibuslaw bidang Keamanan Laut yang dinilai bisa jadi solusi atas aturan yang saat ini tumpang tindih.
“Karena selama ini belum cukup kuat. Belum ada Undang-Undang Keamanan Laut kita. Harus ada karena kalau enggak gitu selalu ada potensi tumbang tindih kewenangan, rebutan kewenangan dalam pengelolaan keamanan ini,” tuturnya.
Ia menyebut UU Keamanan Laut mendesak untuk segera dibuat oleh pemerintah bersama DPR. Menurutnya, aturan main ini untuk memastikan siapa penanggung jawab keamanan laut, koordinasi antarlembaga, hingga pembagian tugas dan kewenangan.
“Yang juga tak kalah penting mampu meniadakan ego sektoral. Penjagaan itu butuh kerja sama yang baik dan berbagi peran dari masing-masing lembaga, Bakamla, KKP, Kemenhub. Tapi harus jelas siapa yang menjadi leading sector,” ujarnya.
Soal armada untuk pengamanan laut ini Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman enggan berkomentar.
Demikian juga juru bicara Menteri KKP, Miftah Sabri saat dihubungi via Whatsapp. Keduanya hanya menyatakan pengamanan laut dilakukan dengan cara sinergi antar unsur terkait. (ZAN)