Praktik menanam tanaman di atas makam telah lama menjadi tradisi di kalangan umat Islam. Lebih dari sekadar penghormatan, tindakan ini diyakini memiliki landasan dalam ajaran agama, khususnya melalui hadits yang menyebutkan bahwa tanaman dapat meringankan siksa kubur. Namun, pemahaman yang komprehensif mengenai praktik ini memerlukan penelusuran lebih dalam terhadap hadits terkait, pandangan ulama, serta konteks hukum Islam yang berlaku.
Hadits sebagai Landasan Praktik:
Salah satu hadits yang sering dikutip sebagai dasar praktik ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas. Ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW, saat berjalan di pinggir tembok Madinah atau Makkah, mendengar suara dua orang yang disiksa di kuburnya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Keduanya disiksa, dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Salah satunya karena tidak menutup aurat saat buang air kecil, dan yang lainnya karena suka mengadu domba.” Selanjutnya, Rasulullah SAW meminta pelepah pohon, membelahnya menjadi dua bagian, lalu meletakkan masing-masing bagian di atas kuburan kedua orang tersebut. Ketika ditanya para sahabat tentang tindakan tersebut, Rasulullah SAW menjawab, “Semoga dengan ini siksa keduanya diringankan selama kedua bagian pelepah itu masih basah.” (HR. Bukhari).
Hadits ini, meskipun tidak secara eksplisit memerintahkan penanaman pohon di makam, menunjukkan bahwa pelepah atau ranting pohon dapat memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu meringankan siksa. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara keberadaan tumbuhan dan pengurangan siksa kubur. Keberadaan pelepah yang basah, yang secara implisit menunjukkan kesegaran dan kehidupan, dikaitkan dengan keringanan siksa. Ini membuka interpretasi bahwa tanaman yang hidup dan subur di atas makam dapat memberikan efek serupa.
Interpretasi dan Pendapat Ulama:
Hadits tersebut tidak membatasi jenis tumbuhan yang digunakan. Pendapat ini diperkuat oleh berbagai sumber yang menyebutkan bahwa berbagai jenis tanaman, tidak hanya pelepah kurma, dapat digunakan. Tanaman yang mudah didapatkan di daerah setempat, bahkan bunga yang disiram agar tetap segar, dapat dimaknai sebagai bentuk implementasi hadits tersebut.
Buku “Hukum Merawat Jenazah: (Dari Memandikan Sampai Memakamkan) Menurut Syariat Islam” karya KH. Muhammad Hanif Muslih Lc. menjelaskan bahwa meskipun hukum menanam pohon di atas makam diperbolehkan, perlu diperhatikan jenis pohon yang dipilih. Pohon yang terlalu besar dan memiliki akar yang kuat sebaiknya dihindari karena berpotensi merusak kuburan, bahkan jasad yang dimakamkan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa ada individu yang dikaruniai keistimewaan oleh Allah SWT, seperti para nabi, yang jasadnya terjaga keutuhannya dan dilindungi dari kerusakan.
Lebih lanjut, Majalah Nadhlatul Ulama: Aula terbitan Aula Media Nahdlatul Ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut menekankan pada manfaat pelepah atau ranting pohon dalam meringankan siksa kubur. Keberadaan tanaman, apapun jenisnya, dianggap sebagai bentuk amal jariyah yang berkelanjutan.
K.H.M. Yusuf Chudlori dalam buku “Fikih Interaktif: Menjawab Berbagai Persoalan Sosial Umat Islam” menambahkan bahwa seluruh pepohonan dan tanaman senantiasa bertasbih kepada Allah SWT. Oleh karena itu, keberadaan tanaman di atas makam diyakini dapat memperbanyak tasbih yang dipanjatkan, sehingga secara tidak langsung meringankan azab bagi penghuni kubur. Namun, perlu ditekankan bahwa ini merupakan pendapat ulama, dan Allah SWT-lah yang Maha Mengetahui.
Praktik Menyiram Air di Atas Makam:
Selain menanam tanaman, tradisi menyiram air di atas makam juga lazim dilakukan. Beberapa hadits mendukung praktik ini sebagai amalan sunnah. Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa Rasulullah SAW menyiram air di atas kubur putranya, Ibrahim, dan meletakkan batu di atasnya. Hadits lain menyebutkan bahwa kebiasaan menyiram air di atas kubur telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Jabir ibn Abdullah juga meriwayatkan bahwa kubur Rasulullah SAW pernah disiram air dalam jumlah banyak oleh Bilal ibn Rabah.
Ulama berbeda pendapat mengenai tujuan menyiram air di atas makam. Sebagian berpendapat bahwa tujuannya adalah untuk mendinginkan kubur, sebagaimana kesejukan air, atau untuk memadatkan tanah agar debu dan pasir menyatu. Pendapat ini diperkuat oleh Asy-Syaikh Abul Hasan Ubaidullah bin Muhammad Abdus Salam bin Khon Muhammad bin Amanullah bin Hisamuddin Ar Rahmany Al-Mubarakfury dari mazhab Hanafi dalam kitabnya Mir’atul Mafatif Syarah Misykatil Mashabih yang menjelaskan bahwa menyiram air di atas kubur disunnahkan jika tidak ada hujan, dengan air yang suci dan dingin, dengan harapan Allah SWT akan mendinginkan tempat peristirahatan terakhir almarhum.
Hasan RA, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syaibah, berpendapat bahwa tidak ada bahaya dalam menyiram air di atas kubur. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abi Ja’far RA.
Kesimpulan:
Praktik menanam tanaman dan menyiram air di atas makam memiliki landasan dalam hadits dan didukung oleh pendapat beberapa ulama. Meskipun hadits yang terkait tidak secara langsung memerintahkan hal tersebut, namun interpretasi dan konteksnya menunjukkan adanya manfaat dan keutamaan dari kedua amalan tersebut. Namun, penting untuk memperhatikan kaidah-kaidah syariat, terutama dalam pemilihan jenis tanaman agar tidak merusak kuburan. Pada akhirnya, semua kembali kepada niat dan keikhlasan dalam beramal, serta keyakinan bahwa Allah SWT-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Praktik ini dapat dimaknai sebagai bentuk penghormatan, doa, dan amal jariyah yang berkelanjutan bagi para penghuni kubur. Penting untuk selalu berpegang pada pemahaman yang moderat dan berimbang, menghindari praktik yang berlebihan atau bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Konsultasi dengan ulama yang berkompeten sangat disarankan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan akurat.