Jakarta, 4 Februari 2025 – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Wahid, dalam sebuah pernyataan tegas di Sarasehan Ulama yang digelar di Hotel Sultan Jakarta hari ini, menegaskan bahwa nilai-nilai yang dianut Nahdlatul Ulama (NU) menjadi contoh nyata praktik toleransi di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam acara yang merupakan kerja sama PBNU dengan detikHikmah dan detikcom, serta didukung oleh Bank Syariah Indonesia dan MIND ID.
Alissa Wahid, dalam paparannya, tidak hanya memuji praktik toleransi internal NU, namun juga menyoroti realitas sosial yang lebih luas. Ia menekankan bahwa reputasi NU sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi telah diakui secara luas di Indonesia. "Semua orang di Indonesia mengakui bahwa NU, orang NU adalah orang-orang yang paling toleran. Itu sudah pengakuan bersama, itu sudah dianggap sebagai realita," tegasnya. Pengakuan ini, menurut Alissa, berakar pada nilai-nilai luhur yang dipegang teguh oleh warga NU, seperti tawasud (moderasi), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i’tidal (kejujuran), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Nilai-nilai ini, menurutnya, telah terinternalisasi dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari warga NU, membentuk karakteristik toleransi yang khas dan diakui secara nasional.
Namun, di balik pujian terhadap toleransi NU, Alissa Wahid juga menyoroti sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Ia mempertanyakan sejauh mana nilai-nilai Pancasila, sebagai ideologi negara, telah benar-benar diinternalisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. "PR Indonesia sebetulnya adalah nilai-nilai Pancasila ini sekarang ini manis di bibir. Tetapi belum benar-benar menjadi falsafah hidup," ujarnya dengan nada prihatin.
Alissa Wahid mencontohkan bagaimana klaim keadaban seringkali tidak berakar pada nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab. "Yang sekarang terjadi adalah saya menjadi orang yang adil, menjadi orang yang toleran karena saya orang NU. Jadi Pancasilanya masih kalah nih sama prinsip-prinsip NU kalau kita bicara nilai-nilai kehidupan," jelasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi sebuah realitas yang menyedihkan: bahwa nilai-nilai toleransi yang diimplementasikan oleh NU, seringkali lebih kuat dan efektif dibandingkan dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri di masyarakat luas. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme konstitusional dan realitas sosial di Indonesia.
Lebih lanjut, Alissa Wahid menekankan perlunya sebuah transformasi mendalam. Transformasi ini bukan hanya sekedar retorika, tetapi sebuah upaya nyata untuk mentransformasikan nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman hidup yang benar-benar dihayati dan dipraktikkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ia menyerukan agar Pancasila tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi landasan moral dan etika dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
"PR kita adalah bagaimana menjadikan Pancasila itu betul-betul menjadi nilai-nilai orang Indonesia dan juga menjadi panduan bagi pemerintah dan penyelenggara negara lainnya termasuk parlemen dan lain-lain," tegasnya. Ia melihat peran penting pemerintah dan penyelenggara negara dalam mewujudkan hal ini, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Keberhasilan implementasi Pancasila, menurutnya, sangat krusial untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Alissa Wahid juga menyoroti potensi NU sebagai contoh nyata dalam menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. "Barangkali NU bisa mencontohkan bagaimana menghidupkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah tantangan bagi kita semua dalam menjaga Indonesia tetap kokoh dengan nilai-nilai kebangsaan yang kuat," pungkasnya. Pernyataan ini mengandung sebuah ajakan sekaligus tantangan, bahwa NU, dengan rekam jejak toleransinya yang mumpuni, dapat menjadi model dan inspirasi bagi seluruh komponen bangsa dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara nyata.
Sarasehan Ulama NU ini, selain menjadi forum diskusi penting, juga menjadi refleksi kritis terhadap kondisi bangsa. Acara ini menyoroti kesenjangan antara idealisme dan realitas, serta menekankan pentingnya upaya kolektif untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Kehadiran Bank Syariah Indonesia dan MIND ID sebagai pendukung acara ini juga menunjukkan komitmen sektor swasta dalam mendukung upaya penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Kesimpulannya, pernyataan Alissa Wahid bukan hanya sekadar pujian terhadap toleransi NU, tetapi juga sebuah kritik konstruktif terhadap implementasi Pancasila di Indonesia. Ia menyerukan sebuah transformasi sosial yang mendalam, di mana nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi pedoman hidup yang dihayati dan dipraktikkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Peran NU sebagai contoh nyata praktik toleransi menjadi poin penting dalam upaya tersebut, menunjukkan bahwa jalan menuju Indonesia yang adil dan beradab masih panjang dan membutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen bangsa. Pernyataan ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Tantangan ke depan adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai Pancasila ke dalam tindakan nyata, bukan hanya sekedar retorika yang indah namun hampa. Semoga Sarasehan Ulama ini menjadi titik awal dari sebuah gerakan nyata untuk mewujudkan Indonesia yang lebih toleran, adil, dan beradab.