Jakarta, 4 Februari 2025 – Chairul Tanjung (CT), Founder & Chairman CT Corp, dalam sebuah paparan di Sarasehan Ulama di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta, memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan hilirisasi pemerintah. Meskipun mendukung upaya peningkatan nilai tambah melalui pengolahan sumber daya alam di dalam negeri, CT mengingatkan potensi jebakan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia jika implementasinya tidak cermat dan terintegrasi.
CT menekankan bahwa hilirisasi semata-mata tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan ekonomi nasional. "Hilirisasi yang hanya sebatas pengolahan awal, tanpa integrasi industri hilir yang komprehensif, justru akan menguntungkan negara lain," tegasnya. Ia mencontohkan komoditas nikel, yang memiliki potensi menghasilkan 300.000 produk turunan, mulai dari baterai listrik hingga peralatan rumah tangga sederhana. Namun, realitas yang terjadi adalah Indonesia masih mengekspor nikel mentah ke negara lain, khususnya China, yang kemudian mengolahnya menjadi produk jadi dan membanjiri pasar domestik Indonesia.
"Ironisnya, kita mengekspor bahan baku, lalu mengimpor kembali produk jadi yang jauh lebih mahal. Keuntungan hilirisasi dinikmati negara lain, sementara Indonesia hanya mendapatkan keuntungan yang minim," ungkap CT. Ia menambahkan bahwa potensi 300.000 produk turunan nikel tersebut justru menjadi mesin penggerak industri di China, sementara Indonesia tetap menjadi pasar bagi produk-produk tersebut. "Jika kita ingin menjadi eksportir, bukan importir, maka industrialisasi hilir harus dilakukan secara menyeluruh di dalam negeri," tegasnya.
Lebih jauh, CT menyoroti masalah impor bahan bakar minyak (BBM) yang masih menjadi beban ekonomi Indonesia. "Kita masih mengimpor 1 juta barel BBM per hari. Meskipun angka ini telah menurun dari puncaknya, jika tren impor ini dibiarkan, pertumbuhan ekonomi yang kita cita-citakan akan terhambat," ujarnya. Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bergantung pada tiga faktor utama: konsumsi domestik, pertumbuhan investasi, dan kinerja ekspor-impor. "Jika impor terus melebihi ekspor, maka faktor pendukung pertumbuhan ekonomi akan semakin berkurang," tegas CT.
CT juga memberikan pandangannya terhadap program "Asta Cita" pemerintah. Ia mengakui bahwa konsep tersebut sangat baik, namun implementasinya menghadapi tantangan yang sangat besar. "Asta Cita is a very good concept, tapi how to implement menjadi challenging yang luar biasa," ujarnya. Menurutnya, kesuksesan implementasi Asta Cita sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai kendala struktural dan birokrasi.
Dalam konteks industri, CT menunjuk dua sektor kunci yang perlu mendapat perhatian serius: industri baja dan petrokimia. Kedua sektor ini, menurut CT, merupakan tulang punggung berbagai industri lainnya. "Mau bikin mobil, kulkas, atau apa pun, semua membutuhkan baja dan petrokimia. Sayangnya, kita lemah di kedua sektor ini," katanya. Ia menyoroti kondisi Krakatau Steel yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan industri baja nasional. "Industri petrokimia kita juga belum kuat, sementara negara-negara maju yang berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) telah menguasai kedua sektor ini dengan sangat baik," tambahnya.
Pernyataan CT ini memberikan gambaran yang lebih kompleks terhadap upaya hilirisasi di Indonesia. Bukan hanya sekedar pengolahan sumber daya alam, tetapi juga membutuhkan strategi yang terintegrasi dan komprehensif, yang mencakup pengembangan industri hilir, peningkatan daya saing, serta pengurangan ketergantungan pada impor. Keberhasilan hilirisasi tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada kemampuan sektor swasta untuk berinvestasi dan mengembangkan industri hilir yang berdaya saing global.
Lebih lanjut, analisis CT menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan strategi yang terukur dalam mengelola sumber daya alam. Ekspor bahan baku mentah tanpa strategi hilirisasi yang matang hanya akan menguntungkan negara lain, sementara Indonesia hanya mendapatkan keuntungan jangka pendek yang minim. Hal ini juga menyoroti pentingnya diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu dan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
Pernyataan CT mengenai impor BBM juga menjadi pengingat pentingnya diversifikasi energi dan pengembangan energi terbarukan. Ketergantungan pada impor BBM membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengembangan energi terbarukan tidak hanya penting untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi beban impor.
Kesimpulannya, paparan Chairul Tanjung memberikan perspektif yang berimbang dan kritis terhadap kebijakan hilirisasi pemerintah. Hilirisasi memang penting untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan baku mentah, namun keberhasilannya bergantung pada perencanaan yang matang, implementasi yang konsisten, dan sinergi yang kuat antara pemerintah dan sektor swasta. Tantangan ke depan tidak hanya terletak pada pengembangan industri hilir, tetapi juga pada penguatan sektor-sektor penunjang lainnya, seperti industri baja dan petrokimia, serta pengurangan ketergantungan pada impor, khususnya BBM. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain yang telah berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah dengan menguasai industri hilir dan diversifikasi ekonomi yang kuat. Sarasehan Ulama yang didukung oleh Bank Syariah Indonesia dan MIND ID ini menjadi forum penting untuk membahas isu-isu strategis tersebut dan mencari solusi yang tepat untuk pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.