ERAMADANI.COM, BALI – Hari raya Galungan dan Kuningan disebut sebagai hari raya puncaknya umat Hindu. Dalam perayaan hari raya itu, terdapat makna mendalam pada sebuah tarian, yakni tari Rejang.
Masyarakat Bali memaknai cerita-cerita sejarah hari Galungan sebagai perayaan kemenangan Dharma ‘kebenaran’ melawan Adharma ‘kebatilan’.
Asura yang jahat mampu dilawan oleh para Dewa, yang kemudian dirayakan melalui suatu tarian sakral bernama “Rejang”.
Dikutip dari akun facebook.com (Gusti Agung Ngurah Atmaja), Galungan berasal dari kata “Gelung” yang artinya ‘ikatan’, sehingga dimaknai bahwa manusia memperoleh ikatan pengetahuan menuju jalan pembebasan yang abadi.
Sementara Kuningan berasal dari kata “Kahuningan”, yang artinya pencerahan tertinggi, pada hari raya ini manusia memperoleh pencerahan tertinggi dari Dewa.
Selain itu, jalan pembebasan rohani yang agung juga ditandai dengan tari Rejang.
Rejang dimaknai sebagai simbolik bidadari-bidadari di langit yang memberi pujian setinggi-tingginya bagi Mahayogi/Mahasiddha (seseorang yang memupuk sidhi (kehidupan abadi) kesempurnaan).
Tari Rejang biasanya ditarikan di Jeroan Pura dan diiringi gambelan, gerakannya pun identik seperti memberi pujian bagi yang berstana di Meru, yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Meru merupakan suatu bagunan suci yang dianggap sebagai stana (rumah) Tuhan, yang dulu merupakan salah satu peninggalan dari Mahayogi Mpu Kuturan.
Mpu Kuturan ialah seorang pendeta Buddha. Meru yang dibangun oleh Mpu Kuturan merupakan modifikasi Pagoda Buddha Tantra Tibet.
Mpu Kuturan kini telah moksa dan berstana di Pura Silayukti, Karangasem.
Dapat disimpulkan alasan tari Rejang dikatakan sebagai tari wali, sebab wali dapat diartikan sebagai kembali ke asal dan kejati diri, yang asli menuju pencerahan yang abadi.
Tari Rejang ini dimaknai sebagai tari yang suci dan sakral, menggambarkan simbol kembali ke tempat asal.
Selain itu juga sebagai bentuk memaknai jati diri yang sesungguhnya dalam menuju moksa (kebahagiaan yang abadi). (LWI)