ERAMADANI.COM, DENPASAR. Sejak kemunculan pandemi Covid-19, banyak aktivitas di berbagai sektor menjadi terganggu, hingga kini pun kurva Covid-19 masih terus naik. Meskipun demikian, Pilkada serentak 2020 masih belum diputuskan untuk dilakukan penundaan.
Dilansir dari Tempo.co, sejumlah pihak terkait pelaksanaan Pilkada mengungkapkan penundaan belum menjadi opsi prioritas, tetapi masih dapat dipertimbangkan sesuai perkembangan keadaan di masyarakat.
Menurut Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Saan Mustopa mengatakan, semua tahapan hingga saat ini berjalan relatif baik.
“Sampai sekarang belum ada opsi penundaan Pilkada, karena semua tahapan yang sudah dan sedang berjalan semua berjalan relatif baik,” kata Saan, Senin (14/9/20).
Meski begitu, Saan juga mengakui adanya pelanggaran yang dilakukan sejumlah calon pemimpin daerah.
Dengan membawa banyak pendukung atau melakukan konvoi saat mendaftar ke KPU setempat pada 4-6 September kemarin.
“Itu sudah kami evaluasi agar dalam tahapan ke depan tidak terulang,” ujarnya.
Menurut catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), 243 dari total 743 bakal paslon kepala daerah melanggar protokol kesehatan, dengan membawa massa saat mendaftar ke KPU.
Saan menyampaikan terkait masukan sejumlah pihak agar Pilkada 2020 kembali ditunda.
Hal itu untuk menjadi pertimbangan yang dibicarakan saat rapat kerja dengan penyelenggara Pemilu dan Menteri Dalam Negeri.
Usulan Penundaan Pilkada 2020 dan Tanggapan Mahfud MD
Usul penundaan Pilkada 2020 sebelumnya disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Direktur Perludem Khairunnisa, Nur Agustiyati menyampaikan Pilkada 2020 sebaiknya ditunda jika pemerintah tidak mampu memastikan penegakan protokol kesehatan.
“Kalau semakin memperburuk situasi penyebaran Covid-19 lebih baik ditunda saja, jangan sampai mempertaruhkan kesehatan publik,” ujar Khairunnisa, Minggu (12/9/20).
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bambang Soesatyo menyarankan hal senada.
Menurut Bambang, pemerintah dan KPU perlu mempertimbangkan kebijakan penundaan Pilkada 2020 bila jumlah kasus Covid-19 terus meningkat.
“Perlu dipertimbangkan secara matang mengenai pengunduran jadwal pelaksanaan Pilkada 2020,” kata Bambang dalam keterangan tertulis, Jumat (11/9/20).
Sementara itu, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menilai tidak ada alasan yang meyakinkan untuk menunda tahapan Pilkada 2020.
Mahfud mengatakan pemerintahan tidak akan bisa berjalan jika Pilkada ditunda dengan alasan pandemi.
“Pemerintahan kan harus jalan. Nunggu habis pandemi? Enggak ada yang tau kapan selesai,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (11/9/20).
Komisioner KPU, Dewa Raka Sandi mengatakan pihaknya masih berpegang pada PKPU Nomor 5 Tahun 2020.
PKPU tersebut mengatur tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, termasuk pemungutan suara pada 9 Desember. Dewa pun mengatakan belum ada ketentuan lain di luar itu.
“Oleh karena itu, tahapan terus berlanjut. Hal ini sesuai dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah diundangkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020,” terangnya, Senin (14/9/20).
Sejumlah Paslon Dinyatakan Positif Covid-19
Sebelumnya, Ketua KPU, Arief Budiman mengumumkan sebanyak 60 bakal calon kepala daerah dinyatakan positif Covid-19.
Akan tetapi, KPU menolak membuka nama-nama para bakal calon tersebut. Sebanyak 96 jajaran Bawaslu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah juga positif Covid-19.
Data itu dibeberkan dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Kamis pekan lalu.
Kendati begitu, opsi penundaan Pilkada 2020 tidak muncul menjadi simpulan hasil rapat.
Sebagai gantinya, Komisi II DPR meminta Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP menyusun aturan penegakan disiplin dan sanksi hukum yang lebih tegas untuk seluruh tahapan Pilkada 2020.
Komisi II meminta aturan itu sudah rampung selambat-lambatnya pada 14 September 2020.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik mengatakan aturan itu masih dibicarakan dengan sejumlah stakeholder.
“Ini masih kami komunikasikan dengan semua pihak terkait, karena pelaksanaan protokol kesehatan kan melibatkan banyak pihak,” kata Akmal, Senin (14/9/20).
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian meminta pemerintah daerah yang menggelar Pilkada 2020 untuk mengadakan rapat koordinasi daerah.
Tito meminta Pemda mengundang Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkopimda), unsur TNI, Polri, kejaksaan, Badan Intelijen Negara, Satpol PP, partai politik dan kontestan Pilkada 2020 di daerah masing-masing.
Tiga Hal yang Diharapkan dalam Rakorda Menjelang Pilkada 2020
Ia ingin Rakorda itu mengagendakan tiga hal.
- Pertama, sosialisasi tahapan Pilkada dan kerawanan di setiap tahapan.
- Kedua, sosialisasi peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19.
- Ketiga, Tito ingin para paslon kepala daerah meneken pakta integritas kepatuhan terhadap protokol Covid-19.
“Selama ini pakta integritas dalam Pilkada maupun pemilu biasanya isinya hanya Pilkada damai, siap menang, siap kalah. Ini ditambahkan lagi dengan kepatuhan terhadap protokol Covid-19,” paparnya dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Kamis (10/9/20).
Mantan Kepala Polri ini menginginkan semua daerah sudah menggelar rapat koordinasi sebelum 23 September 2020, sebab pada hari itu KPU akan mengumumkan penetapan paslon.
Ia mengatakan kepatuhan terhadap protokol Covid-19 selama Pilkada 2020 ini tidak hanya merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020, tetapi juga mengacu pada Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.
Penegakan PKPU Nomor 10 Tahun 2020 merupakan kewenangan Bawaslu.
Namun, sanksi dari aturan tersebut hanya terbatas pada sanksi administratif.
Menurut Tito, perlu Satpol PP untuk menegakkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah, juga Polri untuk menegakkan Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan.
Ketua Bawaslu, Abhan mengatakan penegakan protokol kesehatan terbentur sejumlah kendala.
Di antaranya masih rendahnya kesadaran peserta Pilkada, diabaikannya aturan keterlibatan massa pendukung saat pendaftaran bakal paslon, dan belum adanya norma yang mengatur sanksi berat terhadap.
Selain itu, masih adanya pelanggaran protokol kesehatan, sanksi masih berupa teguran atau peringatan, hingga belum adanya ketegasan aparatur lainnya.
“Tentu kami akan berkoordinasi terus dengan kepolisian dan Satpol PP di daerah,” kata Abhan, Kamis (10/9/20). (IAA)