Jakarta – Ayat ke-32 Surah Al-Isra, dengan tegasnya melarang segala bentuk pendekatan terhadap zina, merupakan peringatan keras yang relevansi dan urgensi pesannya tetap menggema hingga abad modern ini. Firman Allah SWT, "وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا" (Wa la taqrabuz-zina innahu kana faahisyatan wa saa’a sabiilaa), yang bermakna, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk," bukan sekadar larangan, melainkan sebuah deklarasi perang terhadap perilaku amoral yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Ayat ini, yang dikaji secara mendalam oleh berbagai ulama dan tafsir, mengungkapkan esensi larangan yang jauh melampaui tindakan persetubuhan di luar ikatan pernikahan. Tafsir Kemenag RI, misalnya, menjelaskan bahwa larangan "mendekat" (taqrabu) menunjukkan cakupan yang luas, meliputi segala bentuk tindakan dan perilaku yang dapat mengarah pada zina. Bukan hanya tindakan fisik semata, namun juga mencakup tindakan-tindakan yang bersifat psikis dan emosional.
Pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan, merupakan contoh nyata dari pendekatan terhadap zina yang dilarang. Interaksi yang melampaui batas kesopanan dan norma agama, berpotensi besar menjadi jalan menuju perbuatan tercela tersebut. Begitu pula dengan konsumsi konten-konten yang bersifat pornografi atau mengumbar syahwat, merupakan bentuk pendekatan yang berbahaya. Membaca bacaan atau menonton tayangan yang secara sengaja merangsang nafsu, merupakan tindakan yang secara tidak langsung membuka jalan menuju perbuatan zina. Hal-hal tersebut menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya perzinaan, sehingga larangan mendekatinya menjadi sangat krusial.
Lebih jauh lagi, tafsir Kemenag RI mendefinisikan zina sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan yang sah, terlepas dari status perkawinan sebelumnya. Artinya, baik yang belum pernah menikah maupun yang telah bercerai atau menjanda, tetap terikat oleh larangan ini. Bahkan, hubungan seksual akibat kesalahan atau kekeliruan pun tetap dikategorikan sebagai zina. Hal ini menegaskan betapa seriusnya Allah SWT memandang pelanggaran moral ini.
Ayat Al-Isra 32 tidak hanya melarang, namun juga menjelaskan konsekuensi dari perbuatan zina dan pendekatannya. Ayat tersebut menyebut zina sebagai "faahisyah" (keji) dan "saa’a sabiila" (jalan yang buruk). Kedua kata ini menggambarkan betapa buruknya dampak zina terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh zina bersifat multidimensi. Dari perspektif keturunan, zina dapat merusak garis nasab, menimbulkan keraguan akan asal-usul anak, dan memicu konflik sosial. Ketidakpastian garis keturunan ini dapat berdampak pada hak waris, status sosial, dan bahkan identitas individu. Zina juga merusak kehormatan dan martabat individu yang terlibat, menimbulkan rasa malu dan stigma sosial yang sulit dihilangkan.
Di tingkat keluarga, zina dapat menghancurkan rumah tangga yang telah terbina. Kepercayaan dan komitmen yang menjadi pondasi pernikahan akan runtuh, mengakibatkan perpisahan, perceraian, dan trauma psikologis bagi seluruh anggota keluarga. Anak-anak yang menjadi korban dari perselingkuhan orang tua akan mengalami dampak psikologis yang serius, yang dapat berlanjut hingga dewasa.
Dampak zina terhadap masyarakat pun tidak dapat diabaikan. Perbuatan ini dapat memicu penyebaran penyakit menular seksual, meningkatkan angka kriminalitas, dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Ketidakharmonisan dalam masyarakat yang disebabkan oleh perzinaan dapat menimbulkan konflik dan perselisihan, mengancam keamanan dan ketertiban umum. Lebih jauh lagi, perzinaan dapat merusak moral dan etika masyarakat, menciptakan lingkungan yang permisif terhadap perilaku amoral lainnya.
Selain itu, tafsir terhadap Surah Al-Isra ayat 32 juga menghubungkan larangan zina dengan perilaku boros masyarakat Arab Jahiliyah. Perzinaan pada masa itu seringkali dikaitkan dengan gaya hidup mewah dan pemborosan. Hal ini menunjukkan bahwa zina tidak hanya merupakan masalah moral, namun juga terkait dengan aspek ekonomi dan sosial. Perilaku boros yang seringkali menyertai perzinaan menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan, yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
Dalam konteks kekinian, larangan mendekati zina dalam Surah Al-Isra ayat 32 memiliki relevansi yang sangat tinggi. Di era digital yang serba terbuka, akses terhadap konten-konten yang bersifat seksual semakin mudah didapatkan. Media sosial dan internet menjadi media penyebaran konten-konten tersebut, yang dapat memicu perilaku yang mengarah pada zina. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini sangat penting untuk melindungi diri dari pengaruh negatif tersebut.
Pentingnya pendidikan agama dan moral sejak dini menjadi sangat krusial dalam mencegah terjadinya perzinaan. Pendidikan seksualitas yang sehat dan bertanggung jawab perlu diberikan kepada anak-anak dan remaja, agar mereka memahami batasan-batasan moral dan konsekuensi dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, peran keluarga dan masyarakat dalam mengawasi dan membimbing anak-anak dan remaja juga sangat penting.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku zina juga diperlukan untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat dari dampak negatif perbuatan tersebut. Namun, penegakan hukum semata tidaklah cukup. Upaya preventif melalui pendidikan agama, moral, dan sosial jauh lebih penting dalam mencegah terjadinya perzinaan.
Surah Al-Isra ayat 32 bukan hanya sekadar ayat yang tertulis dalam kitab suci, namun merupakan sebuah peringatan keras yang harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Larangan mendekati zina merupakan perlindungan bagi individu, keluarga, dan masyarakat dari kerusakan yang ditimbulkannya. Memahami dan mengamalkan pesan ayat ini merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang bermoral, berakhlak mulia, dan sejahtera. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang begitu cepat, pesan suci ini tetap relevan dan menjadi pedoman hidup yang abadi.