ERAMADANI.COM, INDONESIA – Kaum buruh menolak, tetapi kini RUU Cipta Kerja telah menjadi kebijakan tak terelak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) telah mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-undang, dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun 2020-2021, Senin (5/10/20).
Melansir dari Kumparan.com, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) berpendapat, RUU bertujuan menurunkan biaya tenaga kerja Indonesia.
Lantaran hal itu dipandang mahal dan memberatkan pengusaha.
Peneliti IDEAS, Askar Muhammad, melihat penghapusan UMK (upah minimum kabupaten-kota) yang merupakan salah satu point dalam RUU Cipta Kerja berpotensi, menurunkan tingkat kesejahteraan buruh yang upahnya telah melebihi UMK.
Faktanya, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadikan upah buruh akan semakin murah dengan hilangnya UMK dan menyisakan UMP (upah minimum provinsi).
Sementara kenaikannya kini hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah, tanpa menyertakan inflasi.
“Terlihat jelas bahwa, tanpa RUU Cipta Kerja sekalipun, upah pekerja Indonesia secara umum sudah rendah,” ujar Askar.
“Di mana lebih dari 50 persen pekerja memiliki upah di bawah UMP yang pada 2019 rata-rata di kisaran Rp 2,5 juta,” sambungnya.
Lantas, bagaimana RUU Cipta Kerja yang kini sudah mendapat ketok palu SAH itu tampak dari sudut pandang kaum buruh?
Diketahui bahwa kaum buruh menyerukan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Lantaran upah yang rendah terlebih pada masa pandemi yang tidak tahu kapan ujungnya terasa.
Dengan demikian, menjadikan mereka semakin sesak berjuang merangkai asa.
Oleh karenanya, mereka menyerukan penolakan demi penolakan.
Penolakan-penolakan dari Kaum Buruh
Pertama, RUU Cipta Kerja menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Sementara, KSPI menilai UMK tidak perlu adanya syarat karena penetapan nilai UMK setiap kota/kabupaten berbeda-beda. Seharusnya, kata buruh, pemberlakuan penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK itu pada tingkat nasional.
Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, yang mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, yang menurut KSPI akan menjadi masalah serius bagi buruh. Lantaran masih belum jelas nantinya siapa pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
Kelima, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas merugikan fisik dan waktu para buruh.
Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan juga menyampaikan protes ini, yang menyebut salah satu pasal klaster ketenagakerjaan menyebutkan secara jelas. Terkait perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayar upah buruh perempuan, yang mengambil cuti haid secara penuh.
Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
(ITM)