Pembatasan Sosial Berskala Besar Jakarta
ERAMADANI.COM – Pada akhir Februari 2020, wabah virus Covid-19 sudah memasuki wilayah Indonesia. Jakarta adalah salah satu kota di Indonesia dengan angka korban pandemi Covid-19 terbesar. Mengingat Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia di mana segala kegiatan terpusat di Jakarta, akibat dari wabah tersebut pemerintah kemudian mengambil langkah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Terhitung sudah hampir 8 bulan dari mulainya PSBB pertama di Jakarta. Namun, angka korban juga semakin bertambah.
Penyebaran virus ini tergolong sangat cepat setiap harinya.
Pada awal Maret 2020, pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah lockdown secara total, di mana seluruh masyarakat Jakarta tidak diperbolehkan keluar rumah ataupun beraktivitas kecuali dalam keadaan darurat.
Lockdown ini dilakukan selama tiga putaran, masing-masing putaran sepanjang 14 hari.
Pada masa lockdown tersebut, semua tempat berkumpul seperti mall, cafe, perkantoran, sekolah, dan lainnya ditutup. Semua kegiatan mulai hanya dilakukan secara online.
Setelah masa lockdown selesai, pemerintah kemudian memberlakukan PSBB pertama pada 10 April 2020 sampai dengan tanggal 4 Juni 2020.
PSBB dilakukan secara ketat, seperti lockdown, tetapi masyarakat sudah dapat beraktivitas walaupun dengan aturan-aturan ketat yang berlaku.
Setelah selesainya PSBB pertama, pemerintah memperpanjang jangka waktu tersebut sampai akhirnya mencapai tahap PSBB transisi pada tanggal 5 Juni 2020.
Berbeda dengan PSBB secara total sebelumnya, dengan PSBB transisi kegiatan yang sebelumnya tidak diperbolehkan perlahan-lahan dapat dilakukan.
Walaupun tidak semua kegiatan dapat dilakukan, tetapi banyak tempat berkumpul yang mulai dibuka dengan persyaratan semua pengunjung harus mengikuti protokol kesehatan Covid-19 yang berlaku.
Masalah Pembatasan Sosial Berskala Besar
Sebagai masyarakat Jakarta, melihat reaksi masyarakat akan keputusan pemerintah tidak selalu berjalan sesuai harapan.
Pada awalnya, masyarakat sangat berwanti-wanti pada wabah virus Covid-19 ini.
Dimulai dari awal Maret 2020, sempat terjadi penurunan angka korban pandemi Covid-19 yang dikarenakan masyarakat sangat takut untuk berpergian atau beraktivitas di luar rumah. Namun, hal itu tidak berlangsung cukup lama.
Seiring berjalannya waktu, banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mereka menjadi provokator dengan menyebarkan isu palsu yaitu virus Covid-19 tidak benar adanya.
Akibat dari tindakan oknum-oknum ini menimbulkan banyaknya konspirasi tentang wabah virus Covid-19.
Berita akan konspirasi ini juga sangat cepat beredar melalui social media.
Tidak jarang juga kita menemukan social media influencer yang juga menentang adanya virus ini, tanpa melihat seberapa besar dampak dari perbuatannya.
Akibat dari hal itu, masyarakat mulai menyepelekan akibat dari virus Covid-19 sendiri.
Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berkumpul tanpa menggunakan masker, tidak menjaga jarak antara satu dan lainnya.
Dengan begitu, angka korban Covid-19 terus bertambah. Pemenrintah juga mengambil keputusan dengan melakukan rapid test secara masal.
Namun, hal tersebut juga tidak ditanggapi dengan serius oleh masyarakat Jakarta.
Selain itu, Indonesia belum siap untuk menghadapi wabah virus ini, terbukti dengan fasilitas kebutuhan yang minim.
Orang yang terjangkit virus Covid-19 harus mengisolasi diri secara mandiri.
Namun, apa hal itu berlaku untuk masyarakat kecil dengan jumlah anggota yang besar? Rumah sakit sendiri tidak sanggup untuk menampung banyaknya korban.
Wisma Atlet juga sudah dijadikan tempat untuk menampung masyarakat yang terjangkit virus ini sampai mereka dinyatakan sembuh total.
Jika masyarakat tetap bersikap acuh akan adanya wabah ini, tentu saja penyebaran akan terus meningkat, di tambah lagi sudah tidak adanya tempat untuk memfasilitasi masyarakat.
Tenaga Kesehatan (nakes) yang juga aktif menjadi relawan Covid-19, yaitu dr Tirta Mandira mengatakan bahwa pemerintah memiliki tim management krisis yang baik dan koordinasi PSBB harus melibatkan multi kementerian.
Dengan pemberlakuan PSBB di awal yaitu pada bulan Maret dan April untuk menekan penyebaran virus.
PSBB secara total di awal Maret sampai bulan April sudah tepat dengan penegakan hukum yang bagus sedangkan untuk PSBB transisi kurang tepat, karena PSBB transisi dilakukan saat pandemi sudah menyebar di banyak provinsi sedangkan kita tidak dapat mencegah migrasi masyarakat.
Dalam keadaan ini juga transmisi virus juga sangat pasif rata-rata OTG (Orang Tanpa Gejala), jika melakukan PSBB transisi di masa sekarang justru akan mengekang kehidupan ekonomi masyarakat, karena krisis pandemi ini sudah semakin melebar.
Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masyarakat Kecil
Akibat PSBB secara total maupun transisi, menimbulkan masalah lain, tentu saja masalah perekonomian yang sangat besar.
PSBB mengakibatkan banyak aktivitas yang tidak boleh dilakukan, dengan begitu banyak industri yang mengalami kebangkrutan.
Pemecatan UMKM juga banyak terjadi di Jakarta, walaupun ada yang tidak dipecat, tetapi penghasilan mereka harus dipotong untuk mengatasi kerugian yang dialami perusahaan tempat mereka bekerja.
Dampak ekonomi yang paling dirasakan adalah untuk para pedagang kecil dan ojek online, mengingat tidak adanya aktivitas yang dilakukan masyarakat di luar rumah, maka pemasukan mereka juga sangat minim adanya.
Akibat hal itu, para pedagang kecil ini hanya dapat berusaha semaksimal mereka walaupun pemasukan yang mereka dapatkan hanya sebatas 35-25% dari hari-hari biasanya.
Menurut dr Tirta Mandira, pemerintah sudah mengambil langkah dengan melakukan BLT (Bantuan Langsung Tunai) secara tunai maupun dengan Kartu Prakerja, atau pun membantu UMKM oleh kementerian koperasi dan lainnya sudah benar.
Akan tetapi, ada satu lagi yang harus dilakukan yaitu pemerintah daerah harus menyediakan alokasi anggaran dengan dinas sosial dan bekerja sama dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa berkoordinasi dengan pemerintah pusat, karena akan menyebabkan tumpang tindih kebijakan.
Namun, dengan upaya yang sudah pemerinlah lakukan, masih banyak sekali masyarakat yang mengalami kesusahan untuk mendapatkan bantuan atau pun bantuan yang diberikan tidak cukup untuk menafkahi keluarga dari UMKM di Jakarta.
Sebagai contoh seorang pekerja ojek online, Agung Sunarwibowo (53) mengatakan bahwa selama pandemi ini sangat mempengaruhi penurunan pendapatan sebanyak 70%.
Ia berharap pemerintah akan terus berusaha untuk menghentikan penyebaran virus ini, dengan cara yang efektif dan efisien dan terus membantu perekonomian masyarakat yang terkena dampak dari berbagai kebijakan pemerintah.
Mengubah Pola Pikir dan Mengambil Peran untuk Saling Menjaga
Peningkatan kasus yang kerap berjalan tentunya juga sangat dipengaruhi oleh masyarakat itu sendiri.
Dimulai dari kurangnya pengetahuan tentang virus Covid-19, rasa tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, dan pola pikir yang terus menganggap bahwa virus ini tidak berbahaya.
Akibat dari hal itu, diperlukan kesadaran diri sendiri akan pentingnya mengikuti protokol kesehatan yang berlaku.
Dengan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku, kita juga menjaga orang di sekeliling kita untuk tidak terpapar oleh virus Covid-19.
Angka besarnya aktivitas yang terjadi di Jakarta didominasi dengan remaja yang berumur 15-27 tahun.
Dibuktikan dengan penelitian yang terjadi seiring pandemi yang berlangsung, banyak remaja yang tidak mengalami gejala jika terkena virus Covid-19.
Bisa jadi remaja yang habis berkegiatan di luar rumah membawa virus dan menularkannya kepada orang-orang di sekitarnya.
Tidak jarang juga dijumpai remaja ini kerap berkumpul di tempat-tempat seperti mall ataupun cafe.
Pandemi ini juga membuat rasa stress atau pun depresi bagi anak-anak sampai orang dewasa, dengan tuntutan aktivitas masing-masing tanpa bisa melakukan hal yang menyenangkan di luar rumah secara tenang.
Salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya, Firyal Riyanti (20) mengaku bahwa dengan adanya pandemi ini, ia tidak dapat melakukan aktivitas yang ia sukai.
Misalnya seperti kumpul bersama teman, kegiatan perkuliahan di luar rumah, dan mengikuti UKM.
Walaupun mengeluh, ia tetap berusaha mematuhi protokol kesehatan yang berlaku serta tetap berada di rumah jika tidak ada keperluan penting.
Berdasarkan apa yang sudah dilakukan, ia mengharapkan pandemi ini cepat selesai agar ia bisa menjalankan aktivitasnya secara normal.
Dengan pola pikir yang baik, kita semua turut mengambil peran atas langkah untuk menghentikan pandemi ini, karena keputusan atau langkah yang dilakukan pemerintah tidaklah berarti jika masyarakatnya tetap merasa acuh dan tidak peduli akan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, tetaplah menjaga kesehatan dan mengikuti protokol yang berlaku, demi menyapa Indonesia yang bebas dari Covid-19.
Oleh: Syafa Nadya Parlan Mahasiswa LSPR Communication and Business Institute Jakarta, Jurusan Public Relations