ERAMADANI.COM – Polri membentuk tim untuk melakukan pemantauan terhadap kebijakan pemerintah yang menetapkan harga minyak goreng satu harga Rp14 ribu per liter di seluruh ritel modern yang tercatat sebagai anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mulai Rabu (19/1).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa kepolisian bakal melakukan penindakan hukum apabila ditemukan masyarakat memborong minyak tanpa sesuai aturan dengan memanfaatkan kebijakan tersebut saat ini.
“Polri membentuk tim monitoring ke wilayah, lakukan monitoring kegiatan produksi, distribusi dan penjualan minyak goreng, lakukan penindakan bila ada upaya aksi borong dan penimbunan, khususnya minyak goreng kemasan premium,” kata Ramadhan saat dikonfirmasi, Jumat (21/1).
Ia mengatakan bahwa penindakan hukum tersebut akan mengacu pad Pasal 107 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Menurutnya, pengepul bahan pokok dapat terancam pidana penjara hingga 5 tahun atau denda Rp50 miliar.
Menurut dia, saat ini Polri telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan RI dan Dinas Perdagangan di tingkat Provinsi, Kota ataupun Kabupaten untuk dapat menerbitkan pelaksanaan teknis penjualan minyak satu harga. Dimana, nantinya pembelian tiap masyarakat akan dibatasi.
“Dibatasi dua liter setiap pembelian, guna antisipasi adanya aksi borong dan penimbunan,” tambah dia.
Sebagai informasi, kebijakan ini akan diberlakukan tak hanya di ritel modern. Namun, harga minyak satu harga juga akan berlaku di pasar tradisional setelah satu pekan ketentuan tersebut disahkan.
Dikutip dari CNNIndonesia.com, Menteri perdagangan Muhammad Lutfi mengancam produsen ataupun perusahaan minyak goreng yang menjual harga di atas Rp14 ribu dengan sanksi hingga pencabutan izin usaha. Pasalnya, ia mengatakan bahwa program ini akan berlangsung hingga enam bulan ke depan.
Lutfi mengatakan bahwa pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp7,6 triliun untuk membiayai subsidi 250 juta liter minyak goreng kemasan per bulan. Jumlah itu setara 1,5 miliar liter selama enam bulan bagi masyarakat.
“Produsen atau eksportir yang tidak mematuhi ketentuan maka akan dikenakan sanksi berupa pembekuan atau pencabutan izin. Kami mengingatkan pemerintah akan mengambil langkah yang sangat tegas,” kata Lutfi.