Bandung, Republika.co.id – Perubahan regulasi di tingkat nasional berdampak signifikan pada pendapatan daerah, khususnya di Kota Bandung. Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Kota Bandung kini memiliki sumber pendapatan baru: retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Sebelum lahirnya aturan baru ini, Pemkot Bandung mengandalkan pendapatan dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun, dengan terbitnya UU Cipta Kerja, IMB digantikan oleh PBG. Untuk memastikan aliran pendapatan tetap terjaga, DPRD Kota Bandung kemudian melahirkan Perda No 4 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
"Perubahan Perda ini tentu berdampak pada pendapatan juga," ungkap Christian Julianto Budiman, anggota DPRD Kota Bandung dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), kepada wartawan pada Selasa (29/10/2024).
Christian menjelaskan, Perda No 4/2023 ini dirancang khusus untuk mengatur retribusi PBG. Hal ini dilakukan agar Pemkot Bandung tidak kehilangan sumber pendapatan yang selama ini diperoleh dari IMB.
"Jika tak membuat Perda retribusi PBG maka Pemkot Bandung akan merugi karena tidak boleh memungut retribusi jika tak ada landasan hukumnya," tegas Christian.
Berdasarkan data yang dihimpun, pendapatan retribusi PBG di tahun 2023 mencapai sekitar Rp 20 miliar. Pemkot Bandung menargetkan angka ini akan meningkat menjadi Rp 20,6 miliar di tahun 2025.
"Sesuai PP No 6 Tahun 2021, DPMPTSP tidak dibebani target penerimaan retribusi daerah sehingga target yang ditetapkan juga tidak terlalu tinggi dan realistis untuk dicapai," jelas Christian.
Retribusi PBG dibebankan pada bangunan baru dan perluasan bangunan, seperti mall, hotel, rumah sakit, perkantoran, dan bahkan rumah tinggal. Namun, ada pengecualian bagi bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
"Retribusi PBG juga sebagian diperolehnya dari rumah tempat tinggal, khususnya komplek, perumahan pastinya membayar PBG sebagai izin mendirikan bangunan," tambah Christian.
Untuk memastikan kepatuhan dalam pembayaran retribusi, Perda No 4/2023 juga mengatur sanksi bagi wajib retribusi yang terlambat atau kurang bayar. Pasal 11 Perda ini menyebutkan bahwa wajib retribusi yang tidak membayar tepat waktu atau kurang bayar akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 persen (dua per seratus) setiap bulan dari Retribusi PBG yang terutang. Sanksi ini akan dihitung dari jumlah retribusi yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD).
Perda PBG: Tantangan dan Peluang
Lahirnya Perda Retribusi PBG di Kota Bandung membuka peluang baru bagi Pemkot Bandung untuk meningkatkan pendapatan daerah. Namun, implementasi Perda ini juga diiringi sejumlah tantangan.
Salah satu tantangannya adalah sosialisasi Perda kepada masyarakat. DPRD Kota Bandung menilai, rendahnya jumlah pengajuan PBG di Kota Bandung disebabkan oleh kurangnya sosialisasi Perda ini kepada masyarakat.
"Masyarakat yang mengajukan PBG masih rendah karena kurangnya sosialisasi. Kami mendorong Pemkot Bandung untuk lebih gencar mensosialisasikan Perda ini," ujar Christian.
Selain itu, DPRD Kota Bandung juga menyoroti kurang efektifnya pelaksanaan Forum Konsultasi Publik (FKP) di tahun 2024-2029. FKP merupakan wadah untuk menampung aspirasi dan masukan dari masyarakat terkait dengan kebijakan daerah.
"FKP tidak berjalan efektif di DPRD Kota Bandung 2024-2029. Ini menjadi catatan penting yang harus segera ditangani agar aspirasi masyarakat dapat tersalurkan dengan baik," ungkap Christian.
Kesimpulan
Perda Retribusi PBG di Kota Bandung merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan daerah. Namun, keberhasilan implementasi Perda ini sangat bergantung pada sosialisasi yang efektif dan pengelolaan yang transparan dan akuntabel. DPRD Kota Bandung diharapkan dapat berperan aktif dalam mengawal implementasi Perda ini agar tujuannya tercapai dengan baik.