ERAMADANI.COM, DEN HAAG – Mahkamah atau Peradilan Internasional (ICJ) memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak untuk melindungi populasi Muslim Rohingya dari penganiayaan dan kekejaman yang yang terjadi.
Tak hanya itu Mahkamah Internasional juga memerintahkan untuk mengamankan bukti-bukti dugaan kejahatan terhadap mereka.
Awalnya Negara Gambia yang merupakan mayoritas penduduk Muslim, pada November lalu melayangkan gugatan kepada badan tertinggi PBB untuk urusan menangani perselisihan antarnegara.
Dilansir dari Eramuslim.com, dengan menyebut Myanmar melakukan genosida terhadap Rohingya, sebuah tindakan yang melanggar konvensi 1948.
Keputusan Peradilan Internasional
Pada Kami (23/01/2020) kemarin, Keputusan Mahkamah Internasional, hanya membahas permintaan Gambia untuk langkah-langkah pendahuluan, stara dengan perintah penahanan negara.
Sementara keputusan akhir bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk dicapai. Majelis yang terdiri atas 17 hakim memperjelas dalam keputusannya.
Bahwa mahkamah meyakini warga Rohingya berada dalam bahaya. Sebab itu, langkah-langkah harus diambil untuk melindungi mereka.
Rohingya tetap “berisiko serius terhadap genosida,” kata hakim ketua Abdulqawi Yusuf, sambil membaca ringkasan keputusan tersebut.
“Myanmar akan mengambil semua langkah dalam kekuasaannya untuk mencegah semua tindakan yang dilarang berdasarkan Konvensi Genosida 1948,” kata keputusan itu. Myanmar juga harus melaporkan kembali dalam waktu empat bulan.
Ia memerintahkan pemerintah Myanmar untuk memberikan pengaruh terhadap militer dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya untuk mencegah pembunuhan anggota-anggota kelompok itu.
Hingga menyebabkan kerusakan fisik atau mental yang serius kepada para anggota kelompok itu, yang dengan sengaja menimbulkan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang dimaksudkan untuk mewujudkannya kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian.
Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras yang dipimpin militer pada 2017. Mereka dipaksa masuk ke kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh.
Simpatisan AS menyimpulkan bahwa kampanye militer telah dieksekusi dengan “niat membasmi”.
Beberapa saat sebelum mahkamah di Den Haag mulai membaca putusannya, Financial Times menerbitkan sebuah artikel yang ditulis pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi.
Artikel itu menuliskan kejahatan perang mungkin dilakukan terhadap Muslim Rohingya tetapi para pengungsi telah melebih-lebihkan pelanggaran terhadap mereka.
Selama sepekan persidangan bulan lalu, Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, telah meminta para hakim untuk membatalkan kasus ini.
Putusan Mahkamah Internasional bersifat final dan tanpa banding, meskipun tidak memiliki cara nyata untuk menegakkannya. (MYR)