ERAMADANI.COM – Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru masih tak bisa diakses oleh publik hingga Rabu (22/6). Padahal, DPR dan pemerintah telah menyepakati menargetkan RKUHP disahkan pada Juli mendatang.
Kelompok masyarakat sipil terus mendesak agar pemerintah transparan dan membuka draf tersebut sebelum disahkan dalam rapat paripurna Juli mendatang. Mereka khawatir RKUHP yang nantinya akan disahkan masih memuat pasal-pasal bermasalah.
Sebagai informasi, pasal-pasal bermasalah itu juga sempat memicu gelombang protes masyarakat pada 2019 silam. Akhirnya, RKUHP itu batal dibahas dalam Rapat Paripurna untuk disahkan jadi undang-undang pada akhir masa bakti DPR periode 2014-2019.
Selama masa bakti DPR dan pemerintahan periode 2019-2024 sejauh ini pembuat undang-undang telah melakukan sosialisasi dan perbaikan pada pasal-pasal krusial yang diprotes 2019 silam.
Hingga dikabarkan bakal ditargetkan disahkan pada Juli mendatang, masyarakat sipil belum mendapatkan draf terbaru dari pembuat undang-undang.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan seharusnya pembuat undang-undang membuka draf itu agar bisa ditelaah materinya yang kemungkinan masih bermasalah.
“Draf yang aliansi pegang itu, RKUHP draf September 2019. Dan, Matriks draf terbaru yang diubah 14 isu disampaikan pemerintah [dalam rapat Kemenkumham dengan Komisi III DPR, 25 Mei 2022],” ujar Erasmus saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (21/6).
Erasmus mengatakan aliansi sipil mendata setidaknya 24 isu krusial yang bermasalah dalam RKUHP pada draf September 2019 silam. Namun, kata dia, tak semuanya mendapat perhatian dari pembuat undang-undang.
Dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 25 Mei lalu, pemerintah menjelaskan hasil pembahasan kembali 14 isu krusial.
Erasmus membeberkan setidaknya ada tiga klaster utama materi bermasalah yang pihaknya data dari RKUHP draf 2019, dan matriks penjelasan di rapat Komisi III DPR pada Mei lalu.
ICJR menilai klaster-klaster pasal yang diprotes itu: Berpotensi berbahaya bagi demokrasi; Pasal-pasal yang berpotensi berbahaya pada kelompok rentan, kebebasan sipil, dan kelompok rentan; dan overkriminalisasi atau pemidanaan berlebihan.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, dalam dokumen yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM pada Mei 2022, beberapa pasal itu masuk ke dalam isu krusial yang dibahas kembali. Sedikitnya ada 14 isu krusial yang dibahas.
Target Rampung dan Bantahan Tak Transparan
Anggota Komisi III DPR dari fraksi PPP Arsul Sani membantah para pembuat undang-undang tidak transparan soal draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belum dapat diakses publik jelang target disahkan awal Juli mendatang.
Arsul menyebut naskah RKUHP saat ini masih tahap penyempurnaan dan berada di pemerintah. Dia belum dapat memastikan kapan naskah akan dikembalikan ke DPR untuk dibawa ke Paripurna.
“Jadi kalau belum apa-apa kemudian pemerintah terutama dan DPR dituduh tidak terbuka ya karena memang belum siap,” kata Arsul kepada wartawan di kompleks parlemen, Senin (20/6).
“Siapnya kapan? Siapnya kalau pemerintah sudah menyampaikan,” imbuhnya.
Menurut Arsul, naskah akan dapat diakses publik usai pemerintah kembali menyerahkannya ke DPR. Dia menyebut pembahasan RKUHP sudah dilakukan dengan transparan sejak proses awal 2019.
Dia pun menolak jika saat ini pihaknya dituduh tidak transparan. Dia memastikan publik tetap bisa memberi masukan setelah naskah diserahkan oleh pemerintah ke DPR.
Sementara itu, Arsul tak menampik kabar RKUHP ditarget selesai akhir masa sidang kali ini awal Juli mendatang. Menurutnya, RKUHP memang diharapkan menjadi kado hari kemerdekaan pada Agustus mendatang.
Sementara itu, Wamenkumham Eddy OS Hiariej mengungkap pemerintah menargetkan menyelesaikan drafRKUHP pada Rabu (22/6). Ia menyebut pemerintah berhati-hati dalam penyempurnaan draf sebab RKUHP memuat 628 pasal.
“Mudah-mudahan hari ini,” ujar Eddy kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Eddy menyebut draf RKUHP saat ini masih dalam tahap penyempurnaan hingga tak kunjung diserahkan pada DPR.
“Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Kita [masih] baca,” ungkap Eddy.
Ia menjabarkan salah ketik atau tipo ini cukup vital sebab mempengaruhi makna pasal-pasal terkait lainnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan dari 14 isu krusial RKUHP yang dibicarakan pemerintah dan Komisi III DPR pada Mei lalu, pihaknya masih menemukan sejumlah hal yang dianggap bermasalah.
Berikut beberapa pasal yang dimaksud:
1. Penghinaan presiden
Menghina presiden dan wakilnya dapat dipenjara paling lama tiga tahun enam bulan. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 218 RKUHP.
Kemenkumham menyebut pasal ini tetap ada, tetapi diubah menjadi delik aduan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat presiden.
Namun, ICJR menilai pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial. ICJR juga menilai pasal ini tidak sejalan dengan iklim demokrasi.
2. Hukuman mati
Kemenkumham menyebut pidana mati tetap dipertahankan pada pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102. Pasal ini bukan pidana pokok, melainkan bersifat khusus.
Selain itu, pidana ini dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan.
Namun, menurut ICJR, Indonesia seharusnya mengikuti peradaban di negara yang lain yang telah maju dengan menghapus pidana tersebut. Terlebih, ketentuan dalam hukuman tersebut juga problematik.
Pasalnya, tidak semua terpidana mati dapat memperoleh masa percobaan. Selain itu, masa tunggu yang lama untuk pidana mati juga termasuk dalam penyiksaan.
3. Penodaan agama
Orang yang dianggap melakukan penodaan agama dapat dipenjara paling lama lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 304.
Pada pasal ini pemerintah melakukan penyelarasan karena dalam penjelasan masih menggunakan kata ‘penghinaan’.
ICJR memberi catatan bahwa pasal ini berpotensi memicu penyerangan terhadap minoritas agama tertentu. Sebab, delik penodaan agama yang rencananya akan diterapkan tidak berorientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya.
4. Kontrasepsi
Orang yang memperlihatkan, menjual, dan menyebarkan informasi untuk mendapatkan kontrasepsi kepada anak dapat dipidana denda. Ketentuan ini dalam pasal 414.
ICJR menilai keberadaan pasal ini harus ditinjau ulang lantaran bertentangan dengan pengendalian HIV-AIDS.
5. Aborsi
Sama halnya dengan pidana aborsi. Dalam pasal 415, orang yang yang mempertunjukkan dan menawarkan untuk menggugurkan kandungan dapat dipenjara sampai enam bulan.
Sementara untuk ibu yang menggugurkan anak dapat dipenjara sampai empat tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 469. Untuk dokter dan tenaga kesehatan yang mengugurkan dapat dipenjara sampai 15 tahun.
Pasal-pasal ini dinilai akan bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Selain itu, ICJR menilai pemerintah harus membeli pengecualian untuk orang dengan darurat medis dan korban perkosaan,
6. Gelandangan
Kemenkumham menyebut pidana ini tetap ada dan tertuang dalam pasal 431 dan tidak ada perubahan. Penggelandang dianggap mengganggu ketertiban umum dan dapat dijatuhi pidana denda.
ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal itu negara justru seharusnya memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
7. Perzinaan
Orang yang dianggap berzina dapat dipidana penjara sampai 1 tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 417.
ICJR menilai pasal ini memicu tingginya perkawinan anak. Sebab, pasal ini cenderung akan mendorong orang tua menikahkan anak secepatnya untuk menghindari zina.
8. Kumpul kebo alias kohabitasi
Pidana sampai enam bulan atau denda kategori II siap menanti orang yang dianggap tinggal bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Ketentuan itu dibuat pada pasal 418.
Pasal ini dapat mengkriminalisasi orang-orang yang menikah, tetapi belum tercatat di negara.
9. Penghinaan pengadilan
Pidana ini menjadi tertuang dalam pasal 280, dari draf sebelumnya yang memuat di pasal 281. Orang yang dianggap menghina pengadilan dapat dipidana denda paling banyak kategori II.
Pasal ini dianggap ICJR sebagai pasal karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat.
10. Pembiaran unggas
Pasal 277 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain. Pasal ini diubah menjadi delik materiil.
ICJR menilai pasal ini perlu dievaluasi relevansinya. Jika diperlukan, lebih baik diatur dalam perda.
11. Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
Pidana ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 595. ICJR menilai living law berisiko dijadikan alasan oleh aparat dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat).