ERAMADANI.COM – 2020 tak terasa sudah masuk bulan kesebelas, tahun ini sama sekali tidak seperti yang banyak orang perkirkan dan harapkan pada saat malam pergantian tahun, bahkan tepat setelah itu saja beberapa titik daerah di Indonesia langsung dilanda oleh bencana alam, yakni banjir. 2020 betul-betul tak terduga. Hampir seluruh manusia di peradaban modern ini seolah tersungkur oleh kemunculan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini hampir mayoritas negara memiliki kasus positifnya.
Dilansir melalui situs World Health Organization (WHO), per 3 November 2020 sudah ada 46,591,622 kasus positif dan 1,201,200 korban jiwa akibat Covid-19 di seluruh dunia.
Berbagai upaya preventif sudah banyak dilakukan.
seperti harus sering mencuci tangan, menjaga jarak dengan individu lain, menggunakan masker, bahkan meminimalisir atau menghentikan sementara kegiatan kerja dan belajar mengajar yang mewajibkan seseorang harus keluar rumah serta banyak berkontak fisik dengan orang lain.
Semua kegiatan itu beralih dikerjakan dari rumah atau Work From Home (WFH).
Gagapnya Penanganan Dini dari Pemerintah
Hal-hal serupa juga dilakukan di Indonesia.
Namun, hingga saat ini negara kita berada pada peringkat yang cukup buruk di Asia Tenggara, kini mengalahkan Filipina.
Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa hal; pada awal-awal kemunculan kasus Covid-19 di dunia, pemerintah gagal mendeteksi dini dan menghentikan penyebaran virus tersebut.
Kebijakan lainnya yang diputuskan oleh pemerintah juga sempat menjadi pusat perhatian karena dinilai kurang bijak.
Ketika banyak negara melakukan travel banned, pemerintah Indonesia memilih menggunakan dana negara sejumlah Rp 72 miliar untuk membayar influencer.
Dengan tujuan mempromosikan sektor pariwisata Indonesia yang terkena dampak oleh Covid-19.
Presiden Joko Widodo juga pada awal penyebaran Covid-19 tidak menyetujui jika Indonesia melakukan lockdown.
Menurutnya yang paling cocok untuk masyarakat kita adalah saling menjaga jarak atau physical distancing.
Padahal banyak sekali negara yang menerapkan kebijakan tersebut, yang terdekat yakni Malaysia dan Filipina.
Kesulitan Bersinersgi
Namun tidak cukup jika hanya sekadar menyoroti pihak pemerintahnya saja.
Kebiasaan dan pola hidup masyarakat Indonesia tidak kalah penting untuk dibahas karena selama vaksin belum ditemukan.
Maka untuk mengurangi atau menghentikan penyebaran virus Corona yakni dengan saling bersinergi satu sama lain, antara pemerintah dan masyarakatnya.
Selama masyarakat kita masih gemar sekadar menongkrong di coffee shop, restoran, berpesta di akhir pekan dengan kawan-kawannya tanpa ada menjaga jarak.
Ketika urgensi keluar rumah hanya untuk bersenang-senang, maka menghentikan angka kenaikan kasus positif akibat Covid-19 di Indonesia akan sangat sulit.
Polemik Baru
Hampir sudah sebulan lamanya semenjak beberapa elemen masyarakat yang terdiri dari buruh, tani, mahasiswa, dan rakyat miskin kota melakukan aksi demonstrasi terhadap keputusan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang pada Senin (5/10/2020) lalu mengetuk palu untuk mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Bahkan pada tanggal 2 November 2020 kemarin Presiden Jokowi resmi meneken UU Cipta Kerja tiga hari lebih cepat dari batas waktu yang sudah ditentukan.
Polemik ini muncul karena tidak sedikit kalangan masyarakat yang menilai bahwa isi dari Omnibus Law terkesan banyak merugikan buruh, tani, nelayan, melemahkan perlindungan lingkungan, dan perampasan tanah masyarakat adat yang berpotensi terjadinya konflik agraria.
Meski sedang terjadi pandemi Covid-19 yang mewajibkan masyarakat untuk menghindari kegiatan yang menyebabkan kerumunan banyak orang.
Namun, aksi demonstrasi di berbagai kota dan daerah tidak bisa terbendungkan.
Seorang tenaga kesehatan (nakes) yang juga aktif menjadi relawan Covid-19, yakni dr Tirta Mandira, berujar bahwa pada dasarnya melakukan aksi atau menyalurkan aspirasi itu dipersilahkan.
Asalkan sesuai dengan aturan, seperti tidak merusak fasilitas milik rakyat salah satunya.
Namun, ia juga memberi sedikit komentar mengenai digelarnya aksi demonstrasi tersebut.
Mahasiswa berinisal SA dan I merupakan dua orang yang turut serta melakukan aksi di Bali.
Mereka berdua sadar betul bahwasanya mengikuti demonstrasi yang dilakukannya pada 8 Oktober 2020 silam akan berisiko terpapar Covid-19.
“Saya sangat mengetahui itu (resikonya), namun kita di sana tentunya menggunakan protokol kesehatan (masker), walaupun dalam hal aksi ini saling berdekatan dan yang saya ketahui tidak banyak yang tekena Covid-19,” ucap I karena ia memastikan setelah mengikuti aksi tersebut dirinya pergi memeriksakan diri dan hasilnya ternyata negatif dari Covid-19.
SA memaparkan jika aksi tersebut terjadi karena pemerintah memicu terciptanya polemik yang akhirnya membuat beberapa elemen masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan haknya.
“Pembahasan (dan pengesahan) yang kurang pas karena momennya di saat terjadi pandemi, seharusnya pemerintah lebih fokus terkait dengan penanganan Covid-19,” ucap SA.
Keikutsertaannya melakukan aksi menurutnya merupakan hal yang wajar karena sebagai mahasiswa.
Perannya adalah terus optimis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat.
“Kita harus memberikan dampak afirmasi positif kepada semua elemen di kalangan masyarakat,” lanjutnya.
Memang pada saat itu pemerintah cenderung melakukan pengesahan UU dengan proses yang cacat prosedur.
Seperti ketidakjelasan naskah asli dari Omnibus Law, karena sempat beredar banyak versi dan kerap berubah-ubah jumlah halamannya.
Hal itu tadi yang akhirnya menciptakan keresahan di kalangan masyarakat.
Ia juga menambahkan karena hal tersebut sudah terlanjur terjadi, ia berharapan bahwa alangkah baiknya pemerintah tidak menggunakan cara represif, tapi dengan cara melakukan edukasi seperti halnya dulu edukasi Covid-19.
Karena menurutnya Omnibus Law sangat krusial dan penting untuk masyarakat.
Tetapi sejauh ini dr Tirta tidak bisa memastikan jika demo tersebut menciptakan sebuah klaster baru Covid-19.
Selama semua yang berpartisipasi tidak memeriksakan dirinya pasca-aksi.
Namun, ia menambahkan bahwa beberapa sudah ada bukti positif sebanyak satu sampai tiga orang.
Kembali Menjaga Diri
Pada akhirnya, setelah banyak rentetan peristiwa, polemik, dan kejadian yang meresahkan.
Kita semua tetap harus kembali pada penanganan yang sudah dianjurkan, untuk tetap menggunakan masker jika keluar rumah, mengurangi kontak fisik dan berkerumun dengan orang lain.
Kita yang bertanggung jawab untuk diri sendiri dan dampaknya bagi orang lain, maka penting sekali untuk bisa saling menjaga dan mengingatkan sesama.
Akan banyak sekali korban yang berjatuhan jika kita hanya sekadar menunggu vaksin tanpa mengikuti protokol kesehatan dan kebersihan.
Selain itu, jika bukan mulai dari kita sendiri, dari siapa lagi?
Oleh: Andini Maharani Mahasiswa London School of Public Relations Jakarta