ERAMADANI.COM, PAPUA BARAT – Berdirinya Masjid An-Nur tak lebih dari 50 meter dari Gereja Immanuel. Namun sejarah berdirinya adalah nuansa romantisme dan kerukunan Kristen-Islam di kampung itu.
Pembangunan kedua tempat ibadah ini merupakan gambaran Indonesia yang seharusnya. Gereja Immanuel dibangun oleh masyarakat Islam. Tak terbayangkan dan mengagumkan.
Di tengah banyaknya pertanyaan tentang keindonesiaan dan pluralisme Indonesia, di mana pendirian tempat ibadah menjadi pertanyaan dan masalah.
Oase Kerukunan Islam-Kristen

Nun jauh di sana 3000 km dari Bogor dan Jakarta oase kerukunan umat beragama ternyata ada. Oase itu adalah Kampung Pulau Arar Papua Barat.
Kampung Arar, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat ditetapkan oleh Bupati Sorong, DR. Stepanus Malak, Drs. Msi. sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Suku di Papua Barat.
Kampung Arar terletak di Pulau Arar. Pulau kecil seluas kurang dari 40 hektar, terletak sekitar 4 mil laut dari lepas pantai daratan Kepala Burung, Sorong.
Pulau ini sangatlah indah dan penuh keajaiban serta menyediakan air tawar bagi daerah sekitarnya ketika ada kemarau panjang. Bahkan pada tahun 1980a-an.
Ketika terjadi kemarau panjang, masyarakat Sorong mengambil air dari pulau ini. Bahkan Perusahaan Kayu Lapis Hendrison Iriana pernah mengambil air tawar dari sana.
Sejarah Pulau Arar
Faedar Rumbrawer berasal dari Suku Biak-Numfor selaku Kepala Kampung Arar, banyak bercerita tentang sejarah Pulau Arar yang dihuni oleh 170 KK dengan sekitar 680 jiwa.
Terdiri dari berbagai suku, sebagai penduduk asli Sorong. Suku Biak-Numfor juga tinggal di pulau ini. Demikian pula suku asli dari Raja Ampat mendiami pulau ini sejak awal.
Sejarah pulau ini merupakan sebuah keindahan hubungan manusia. Pada awalnya suku Biak-Numfor, yang sudah berasimilasi dengan penduduk Raja Ampat sekitar 300 tahun lalu memulai mendiami pulau ini.
Pada mulanya rumah-rumah penduduk hanya di dekat pantai. Mata pencaharian penduduk adalah nelayan, budi daya rumput laut, pegawai negeri, pedagang dan lain-lain.
Tingkat pendidikan di pulau ini relative tinggi, bahkan ada penduduk yang sedang belajar S-2 di Universitas Gajahmada. Di pulau ini terdapat Sekolah Dasar dan SMP Negeri 1 Arar.
Tingkat kesejehteraan penduduk relatif tinggi. Listrik mereka tersedia dengan genset fasilitas pemerintah dan juga swadaya masyarakat. Parabola bertebaran di seantero pulau.
Pada awalnya yang datang mendiami Pulau Arar adalah suku Raja Ampat yang beragama Islam. Mereka membangun komunitas di pulau ini.
Namun suku Moi juga memeluk agama Islam. Perkawinan campur antar suku tak terelakkan dan hal yang biasa. Maka untuk meramaikan Pulau Arar.
Penghuni awal mengajak Suku Moi yang masih tinggal di daratan Kepala Burung untuk tinggal di Pulau Arar yang sudah relatif maju.
Mulai saat itu dikenal Moi Darat dan Moi Pantai. Nama-nama pulau di Raja Ampat berasal justru dari bahasa Biak. Suku Biak yang mengawali meninggali pulau-pulau di Raja Ampat.
Kini prosentase pemeluk agama adalah 70 persen umat Islam, 30 % pemeluk Kristen.
Suku-suku di seluruh Papua sangat penting. Namun suku menjadi tidak penting ketika berbicara kerukunan umat beragama.
Perkampungan Tidak di Pisahkan
Tidak ada perkampungan yang dipisahkan berdasarkan agama. Cuma pekuburan dibuat terpisah demi alasan agama. Di dekat Gereja Immanuel berdiri.
Masyarakat Islam yang tinggal di kampung itu, justru mengelilingi gereja. Bahkan yang paling dekat dengan Gereja Immanuel justru rumah-rumah penduduk yang beragama Islam.
Perkampungan dibangun membaur antara Islam dan Kristen. Tidak ada jarak radius yang harus dihindari untuk tinggal dekat masjid atau menjauhi gereja.
Demikian pula sebaliknya. Semuanya sama. Memiliki hak yang sama. Mendiami pulau dan beribadah sesuai agama yang mereka yakini.
Renovasi bangunan gereja dan masjid dilakukan bersama-sama. Perayaan Natal umat Kristen dihadiri oleh pemeluk Islam pula, bukan pada saat beribadahnya.
Begitu juga dengan Perayaan Idul Fitri atau Lebaran juga ikut dimeriahkan oleh saudara-saudara yang beragama Islam. Misalnya takbir keliling kampong dengan obor.
Demikian pula perayaan-perayaan keagamaan yang lain. Kerukunan seperti ini juga tergambar di Pulau Kasim, Sorong di mana Gereja dan Masjid berdampingan dipisahkan tembok saja.
Kita harus mengambil pelajaran dari kampung Arar mulai dari keluguan dan kesederhaan hidup masyarakat.
Kita mendamba Indonesia yang penuh warna. Karena warna hijau tidak akan pernah ada jika tidak ada warna lainnya. Juga warna merah tak akan ada jika semua warna adalah warna merah.
Pelangi pun tak akan indah jika hanya memiliki satu warna. Bahkan pelangi yang hanya satu warna tak akan bisa disebut pelangi lagi. (HAD)