Jakarta, 4 Februari 2024 – Gelaran Sarasehan Ulama di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta, hari ini, menjadi panggung perbincangan hangat seputar peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks politik nasional. Acara yang digagas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama detikHikmah dan detikcom, serta didukung Bank Syariah Indonesia dan MIND ID, ini menghadirkan para ulama, tokoh agama, cendekiawan, dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju untuk membahas “Asta Cita Prabowo-Gibran dalam Perspektif Ulama NU.” Di tengah diskusi yang serius, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menyisipkan canda yang sarat makna tentang dominasi pengaruh NU di Indonesia.
Pernyataan Gus Yahya yang menyebut, "Jadi kalau kita tangkap orang di jalan itu 10 orang, yang 5 pasti ngaku NU," menimbulkan gelak tawa di ruangan. Namun, di balik lelucon tersebut tersirat pemahaman mendalam tentang basis massa NU yang begitu besar dan tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, mengingat sejumlah survei yang menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia memiliki afiliasi atau simpati terhadap NU. Gus Yahya menambahkan, fenomena ini juga terlihat dalam interaksi sehari-hari, terutama di ruang publik, di mana banyak individu cenderung mengklaim diri sebagai bagian dari NU. Lebih lanjut, ia mengamati bahwa para menteri yang sering berkunjung dan berkomunikasi dengannya pun mayoritas berasal dari kalangan NU. "Kalau ada menteri yang datang itu rasanya kok NU semua," ujarnya, menunjukkan betapa luasnya jaringan dan pengaruh NU dalam pemerintahan.
Namun, di tengah dominasi numerik dan pengaruh tersebut, Gus Yahya menekankan pentingnya NU untuk tetap berpegang teguh pada khittah organisasi. Ia mengingatkan kembali komitmen NU untuk fokus pada pembinaan agama dan menghindari keterlibatan langsung dalam kompetisi kekuasaan. Pesan ini disampaikan dengan tegas: "NU tidak boleh terlibat atau melibatkan diri sebagai entitas kolektif sebagai pihak di dalam kompetisi kekuasaan, di dalam politik kita. Sejak 1984 dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, sudah ditegaskan untuk kembali kepada khittah sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtimaiyah."
Pernyataan ini menjadi poin krusial dalam konteks politik Indonesia yang dinamis. NU, sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, memiliki potensi pengaruh yang sangat besar dalam menentukan arah politik nasional. Namun, komitmen untuk tetap sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Diniyah Ijtimaiyah) menunjukkan upaya NU untuk menjaga independensi dan menghindari potensi konflik kepentingan. Pernyataan Gus Yahya ini dapat diinterpretasikan sebagai penegasan kembali posisi netral NU dalam kontestasi politik, sekaligus sebagai peringatan agar para kader dan simpatisan NU tidak menggunakan nama besar organisasi untuk kepentingan politik praktis.
Sarasehan Ulama ini sendiri menjadi forum strategis untuk membahas "Asta Cita Prabowo-Gibran" dari perspektif ulama NU. Pemilihan tema ini menunjukkan kesadaran NU untuk turut serta memberikan kontribusi pemikiran dalam perumusan kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan dan keadilan sosial. Diskusi yang melibatkan para ulama, tokoh agama, cendekiawan, dan pemerintah menunjukkan upaya untuk menciptakan ruang dialog yang inklusif dan berbasis pada kajian keagamaan yang mendalam.
Perlu dicermati bahwa pernyataan Gus Yahya tentang mayoritas simpatisan NU di Indonesia bukan sekadar lelucon atau klaim tanpa dasar. Hal ini menunjukkan kekuatan NU dalam membangun jaringan sosial dan mengarahkan nilai-nilai keagamaan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kekuatan ini harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab. Komitmen NU untuk tetap berada di luar arena politik praktis merupakan upaya untuk mencegah potensi penyalahgunaan pengaruh dan menjaga integritas organisasi.
Lebih jauh, partisipasi para menteri dalam Sarasehan Ulama ini menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap peran dan pengaruh NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga menunjukkan upaya pemerintah untuk membangun kemitraan strategis dengan NU dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Namun, kemitraan ini harus dibangun di atas landasan kesetaraan dan saling menghormati, tanpa mencederai kemandirian dan netralitas politik NU.
Sarasehan Ulama bukan sekadar pertemuan biasa. Acara ini merupakan manifestasi dari peran NU sebagai organisasi keagamaan yang aktif dalam memberikan kontribusi pemikiran dan aksi bagi kemajuan bangsa. Diskusi yang terbuka dan inklusif ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi dan solusi yang bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas. Peran NU dalam mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat sangat dinantikan. Komitmen untuk tetap berpegang teguh pada khittah sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtimaiyah merupakan kunci untuk menjaga integritas dan kredibilitas NU di mata masyarakat.
Kehadiran Bank Syariah Indonesia dan MIND ID sebagai pendukung acara juga menunjukkan dukungan dari sektor swasta terhadap peran NU dalam pembangunan nasional. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi keagamaan, dan sektor swasta merupakan kunci untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan berorientasi pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.
Kesimpulannya, Sarasehan Ulama ini bukan hanya sebuah pertemuan formal, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang peran NU dalam konteks politik dan kehidupan berbangsa di Indonesia. Pernyataan Gus Yahya tentang mayoritas simpatisan NU menunjukkan kekuatan organisasi ini, sementara penegasan kembali komitmen untuk tetap berada di luar politik praktis menunjukkan kebijaksanaan dan kesadaran untuk menjaga integritas dan netralitas politik. Ke depan, peran NU dalam memberikan kontribusi pemikiran dan aksi untuk kemajuan bangsa sangat dinantikan, dengan tetap berpegang teguh pada khittah dan nilai-nilai yang dipegang teguh selama ini. Semoga Sarasehan Ulama ini dapat menjadi momentum untuk terus memperkuat peran NU dalam membangun Indonesia yang lebih baik.