JAKARTA, ERA MADANI – Wilayah Balaroa dan Patobo, Palu, serta Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah mengalami fenomena likuifaksi atau pergerakan tanah yang menyebabkan rumah ambles dan jalanan naik. BMKG mengatakan masyarakat lokasi mengenal likuifaksi dengan istilah nalodo .
Dilansir detik.com “Nenek moyang masyarakat Palu sebenarnya telah merekam kejadian likuifaksi dalam istilah lokal, yang menandakan bahwa mereka telah mengenalinya sejak lama. Likuifaksi disebut dengan istilah ‘nalodo’ yang berarti amblas dihisap lumpur. Daerah-daerah rentan nalodo ini dulu kosong,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono dalam akun Twitternya.
Lebih jauh saat dihubungi detikcom, Daryono menjelaskan pencairan tanah atau likuifaksi tanah adalah fenomena yang terjadi ketika tanah jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan. Misalnya, getaran gempa bumi secara mendadak sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan.
Sebenarnya, lanjutnya, daerah di Palu dan Sigi yang dilanda fenomena likuifaksi hebat saat gempa kemarin merupakan kawasan permukiman yang relatif baru dibangun dan dikembangkan. Daryono lalu menjelaskan soal kontur tanah di wilayah itu.
“Wilayah ini lokasinya berada sangat dekat dengan jalur sesar aktif Palu Koro, lahan di daerah itu tersusun oleh material lunak hasil proses endapan sedimentasi,” ujarnya.
Selain tanahnya yang merupakan hasil proses endapan yang tebal, lanjut Daryono, kawasan ini air tanahnya dangkal dengan nilai permeabilitas tanah tinggi. Di daerah Petobo atau Kabupaten Sigi itu dikenal banyak ‘seepage’ atau rembesan-rembesan air tanah. Warga setempat menyebutnya sebagai mata air.
“Kondisi tanah di sana memang sangat sangat permeabel atau mudah ditembus air, jadi perkolasi atau daya alir dari air rembesan sungai tinggi,” tuturnya.
Sehingga, dengan kondisi lahan yang seperti itu akan sangat rentan terjadi likuifaksi saat diguncang gempa kuat.
“Terbukti kan setelah gempa bumi berkekuatan M 7,4 di Palu lalu zona masif likuifaksi tersebut benar-benar mengalami kerusakan yang dahsyat, tanah berubah melumer dalam waktu singkat seolah menjadi bubur dan mampu mengalir apapun di atasnya, juga membenamkan apapun yang ada di atasnya,” ucapnya.
“Tampaknya di sana bukan sekali ini saja terjadi likuifaksi dahsyat,” imbuhnya.
Sebagai zona sangat rawan gempa, kata Daryono, fenomena likuifaksi akibat gempa kuat ini telah berulangkali terjadi pada masa lampau. Sehingga, istilah nalodo ini lahir di sana.
“Sebenarnya istilah ini (nalodo) menjadi kearifan lokal untuk diantisipasi, sayangnya perkembangan zaman menjadikannya malah diabaikan,” katanya.
Namun, Daryono menuturkan, tidak semua orang tahu daerah itu rawan likuifaksi. Daryono juga tidak tahu Pemda setempat mengetahui atau tidak wilayah itu rawan.
“Yang tahu itu rawan likuifaksi tidak semua orang. Tapi istilah nalodo yang artinya lumpur menghisap itu mereka tahu, istilah lokal. Saya juga nggak tahu apakah Pemda atau masyarakat sudah tahu itu wilayah rawan,” pungkasnya.