Kisah Nabi Musa AS, salah satu dari 25 nabi dan rasul yang namanya terukir dalam Al-Qur’an, merupakan epik perjuangan tauhid yang monumental melawan tirani dan kesombongan kekuasaan. Lahir di tengah bayang-bayang dekrit kejam Firaun yang memerintahkan pembantaian bayi laki-laki, kehidupan Musa AS sejak awal diwarnai oleh takdir ilahi yang luar biasa. Seperti yang dikisahkan dalam Qashashul Anbiya karya Ibnu Katsir dan berbagai literatur lainnya, ibu Musa AS, diilhami oleh Allah SWT, menempatkan bayi Musa dalam peti yang diikat tali dan dilepaskan di aliran Sungai Nil. Tindakan nekat ini dilakukan sebagai upaya penyelamatan, sebuah pertaruhan antara nyawa sang bayi dan kekejaman rezim Firaun.
Setelah menyusui Musa, sang ibu dengan hati yang cemas kembali ke tepi sungai untuk memantau peti tersebut. Namun, takdir telah menentukan jalan lain. Peti yang biasanya ditarik kembali oleh sang ibu, kali ini terbawa arus sungai. Dalam keajaiban takdir yang diatur oleh Allah SWT, peti tersebut ditemukan oleh Asiyah, permaisuri Firaun. Asiyah, yang hatinya dipenuhi oleh kasih sayang dan kepekaan, melihat bayi Musa yang tergeletak lemah di dalam peti. Tergerak oleh rasa iba dan mungkin juga sebuah bisikan hati nurani, Asiyah membujuk Firaun untuk mengadopsi bayi yang kemudian dikenal sebagai Musa AS.
Masa kecil Musa AS di istana Firaun bukanlah masa kanak-kanak yang biasa. Ia menolak untuk menyusu kepada siapa pun kecuali ibunya. Hanya ASI dari ibunya yang diterima oleh Musa, sebuah keajaiban yang menunjukkan ikatan batin yang tak terputus antara ibu dan anak, sekaligus menjadi petunjuk ilahi akan identitas dan takdir Musa. Kisah ini, sebagaimana diceritakan dalam buku Kisah Nabi Musa AS karya Abdillah, menggarisbawahi peran penting sang ibu dalam merawat dan membesarkan Musa hingga dewasa, meskipun secara rahasia, di tengah lingkungan istana yang penuh dengan kemewahan namun juga bahaya. Ibu Musa, dengan keberanian dan kecerdasannya, berhasil menyusui Musa dan merawatnya, bahkan mendapatkan upah dari dayang-dayang Firaun. Ia adalah sosok pahlawan tak dikenal yang berjuang untuk melindungi anaknya dari kekejaman Firaun.
Kehidupan Musa AS di istana Firaun tidak berlangsung lama. Ketika telah dewasa, Musa AS terpilih oleh Allah SWT sebagai rasul. Ia dibebani tugas suci untuk berdakwah, untuk menegakkan tauhid dan membebaskan Bani Israil dari belenggu perbudakan dan penindasan Firaun. Musa AS, dengan bimbingan dan pertolongan Allah SWT, memulai dakwahnya, tidak sendiri, melainkan bersama saudaranya, Nabi Harun AS. Seperti yang dijelaskan dalam buku Pengantar Sejarah Dakwah oleh Wahyu Ilaihi, Allah SWT memerintahkan Musa dan Harun untuk menyampaikan dakwah dengan hikmah dan kelembutan, mengajak Firaun untuk kembali kepada jalan yang benar, untuk meninggalkan kesombongan dan kezalimannya.
Namun, dakwah Musa dan Harun AS tidak disambut dengan baik oleh Firaun. Alih-alih bertobat, Firaun justru semakin membangkang. Ia menolak ajakan Musa dan Harun AS untuk melepaskan Bani Israil dari perbudakan dan membiarkan mereka menyembah Allah SWT. Konfrontasi tak terelakkan. Musa AS, atas izin Allah SWT, menunjukkan mukjizat-mukjizat yang menakjubkan sebagai bukti kebenaran dakwahnya. Tongkatnya berubah menjadi ular yang menakutkan, dan tangannya memancarkan cahaya yang menyilaukan. Mukjizat-mukjizat ini dimaksudkan untuk membuktikan kekuasaan Allah SWT dan kebenaran ajaran tauhid yang dibawa oleh Musa AS.
Firaun, yang terancam kedudukannya dan keangkuhannya, tidak gentar. Ia malah menantang Musa AS dengan meminta para tukang sihirnya untuk menunjukkan kemampuan mereka. Para tukang sihir itu pun memperagakan sihir mereka, melemparkan tali-tali yang berubah menjadi ular-ular yang menakutkan. Namun, mukjizat Musa AS jauh lebih dahsyat. Ular yang dihasilkan dari tongkat Musa AS dengan mudah menelan ular-ular hasil sihir para tukang sihir Firaun. Kejadian ini membuat beberapa pengikut Firaun, termasuk Asiyah, istri Firaun, terpukau dan akhirnya beriman kepada Allah SWT. Mereka menyaksikan sendiri kekuasaan Allah SWT yang tak tertandingi.
Namun, keimanan Asiyah dan sebagian pengikut Firaun justru memicu kemarahan Firaun yang membabi buta. Alih-alih merenungkan kesombongannya, Firaun semakin brutal dalam menindas dan menyiksa para pengikut Musa AS yang telah beriman. Asiyah, yang telah menyatakan keimanannya, mendapat siksaan yang kejam hingga akhirnya meninggal dunia. Kisah Asiyah menjadi simbol pengorbanan dan keteguhan iman di tengah tekanan dan ancaman yang sangat berat. Ia merupakan contoh nyata bagaimana iman yang tulus dapat mengalahkan rasa takut dan menghadapi kematian dengan tenang.
Melihat kekejaman Firaun yang tak terbendung, Allah SWT memerintahkan Musa AS untuk memimpin Bani Israil meninggalkan Mesir. Namun, pelarian mereka tidaklah mudah. Pasukan Firaun mengejar mereka dengan gigih, bertekad untuk menangkap dan menghukum Musa AS dan pengikutnya. Musa AS dan Bani Israil terjebak di tepi laut, tanpa jalan keluar. Dalam situasi yang genting ini, Allah SWT kembali menunjukkan kekuasaan-Nya yang maha dahsyat. Musa AS diperintahkan untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Dengan izin Allah SWT, laut pun terbelah, menciptakan sebuah jalan kering di tengah lautan yang luas. Bani Israil dapat menyeberang dengan selamat, sebuah keajaiban yang menunjukkan pertolongan Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman.
Setelah Bani Israil menyeberang, Musa AS kembali memukulkan tongkatnya ke laut, sesuai perintah Allah SWT. Laut pun kembali menutup, menenggelamkan Firaun dan seluruh pasukannya yang mengejar. Kejadian ini menjadi bukti nyata kekuasaan Allah SWT dan menjadi peringatan bagi mereka yang sombong dan zalim. Kisah Musa AS dan Firaun merupakan pelajaran berharga tentang perjuangan tauhid, kekuasaan Allah SWT, dan konsekuensi dari kezaliman dan kesombongan. Kisah ini juga menjadi inspirasi bagi umat manusia untuk senantiasa berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, meskipun harus menghadapi tantangan dan rintangan yang sangat berat. Wallahu a’lam.