ERAMADANI.COM, BALI – Bagi yang tinggal maupun yang pernah mengunjungi Bali di saat menjelang hari raya Galungan dan Kuningan, pasti tidak asing lagi dengan benda yang menjulang tinggi dan terlihat menarik dengan sejumlah hiasan yang berasal dari alam. Ialah penjor yang dimaksud dan penjor memiliki detail makna dalam Galungan dan Kuningan.
Penjor identik dengan hari raya Galungan dan Kuningan yang berlangsung setiap enam bulan sekali.
Penjor pun merupakan sebuah sarana upakara “wajib”, dalam menyambut kemenangan Dharma atas Adharma dengan peletakan di depan rumah.
Tujuan dipasangnya penjor ialah sebagai wujud rasa bakti dan ungkapan rasa terima kasih umat Hindu, atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Ornamen khas Bali yang melambangkan Naga Basuki (kesejahteraan dan kemakmuran) ini bukanlah sekadar ornamen biasa ataupun hanya sekadar hiasan, melainkan ornamen ini mengandung arti yang sangat mendalam bagi umat Hindu di Bali.
Selain itu, bentuk penjor yang sengaja didesain tinggi menjulang merupakan representasi dari Gunung Agung.
Terlebih, keberadaan Gunung Agung bagi masyarakat Bali begitu penting, karena dianggap sebagai tempat tinggal para Dewa.
Bahan dan Unsur Pembuatan Penjor Beserta Artinya
Bambu ialah salah satu hal utama dalam pembuatan penjor, karena menjadi tempat segala hiasan dipasang.
Bambu yang digunakan, ujungnya harus berbentuk melengkung. Bentuk melengkung itu merepresentasikan gambaran “Badan Naga” dan sebagai simbol “Dewa Brahma”.
Badan bambu dililit dengan janur muda (busung) yang sudah dibuang bagian lidinya hingga ujung bambu, beserta pangkalnya yang berisi daun-daunan.
Lilitan dari badan hingga ujung bambu menggambarkan “Kulit Naga” dan pada pangkalnya terlihat seperti “Rambut Naga”.
Daun-daunan tersebut melambangkan simbol “Dewa Sangkara”.
Hasil bumi yang digunakan dalam pembuatan penjor di antaranya ialah pala bungkah (umbi–umbian), pala gantung (buah kelapa dan buah pisang), dan pala wija (tebu, jagung, dan padi).
Ini merupakan lambang dari “Perut Naga” sedangkan hasil buminya melambangkan “Dewa Wisnu”.
Di ujung lengkungan bambu digantung sebuah “Sampian Penjor” yang telah lengkap berisi canang sari beserta porosannya.
Itu melambangkan “Ekor Naga”, sampian ini merupakan simbol kekuatan “Dewa Parama Siwa”.
Pada bagian bawah pangkal hiasan penjor dipasangkan “Sanggah Penjor” sebagai simbol “Kepala dan Mulut Naga” yang terbuat dari anyaman bambu.
Dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran.
Hiasan pada sanggah diisi ujung janur menyerupai “Janggut Naga” dan kain putih kuning sebagai Wastra, yang melambangkan “Dewa Mahadewa juga Dewa Iswara”.
Pada samping kanan kiri berisi hiasan bunga.
Sebagai catatan, pemasangan penjor saat Galungan disesuaikan dengan kalender Bali, yaitu Anggara Wage Wuku Dungulan atau yang sering dikenal dengan istilah Penampahan Galungan.
Tahun ini hari raya Galungan yang jatuh pada 16 September 2020 tampak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Akibat pandemi Covid-19, seluruh upacara adat dan keagamaan di Bali harus menerapkan protokol kesehatan.
Artinya diperayaan tahun ini masyarakat Bali tidak dapat melakukan kegiatan kumpul sanak keluarga atau berkumpul di pura untuk menyambut hari kemenangan umat Hindu. (LWI)