ERAMADANI.COM, JAKARTA – Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2020 yang mengatur tata tertib di persidangan menuai kritikan. Terlebih aturan mengambil foto, merekam audio dan video dalam sidang harus mendapat izin terlebih dulu dari hakim dan harus dilakukan sebelum sidang dimulai.
Adapun aturan itu termaktub dalam Pasal 4 ayat (6) PERMA 5 Tahun 2020.
Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Terkait hal itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai aturan itu menghambat dan membatasi jurnalis dalam meliput persidangan.
Sementara apabila para jurnalis melanggar aturan itu, maka dapat terklarifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court.
AJI Minta MA Cabut Aturan PERMA 5 Tahun 2020
Melansir dari kumparan.com, AJI meminta MA mencabut aturan tersebut.
Abdul mengatakan bahwa PERMA 5/2020 itu tidak selaras dengan UU Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
LBH: Fungsi Jurnalis Dapat Meminimalisir Praktik Mafia Peradilan
Selain Aji, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga menyatakan hal yang sama.
Mereka menilai kebijakan itu sangat menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan berita kepada publik.
“Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan,” kata LBH Pers dalam keterangannya.
“Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus. Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan,” sambung LBH Pers.
Peraturan Serupa Pernah MA Buat
Sebelumnya, MA pun pernah melakukan hal yang sama, melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.
Terkait ketentuan yang menyatakan bahwa “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”.
Namun, MA akhirnya mencabut larangan itu setelah menuai kritikan dari berbagai pihak. Sementara aturan itu dinilai hanya berbeda tipis dengan PERMA Nomor 5 Tahun 2020.
“Perbedaannya kali ini MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri,” kata Koalisi Pemantau Peradilan.
Koalisi menilai prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum sesuai dengan Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak.
Sementara itu, koalisi juga menilai apabila aturan ini benar berlaku, maka MA wajib menjamin pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung.
Baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa masyarakat akses secara bebas dan aktual.
“Sekadar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum,” tutup koalisi. (ITM)