Bagi warga Palestina, tak ada alasan merayakan Hari Raya Iduladha penuh suka cita. Kondisi itu dialami khususnya orang-orang yang kehilangan orang-orang terkasih dalam pertempuran antara militan Gaza dan Israel dua bulan lalu.
Hari Raya Iduladha sendiri dikenal sebagai Hari Raya Kurban untuk memperingati Nabi Ibrahim demi menunjukkan pengabdiannya kepada Allah SWT. Iduladha bertepatan dengan pelaksanaan haji, selain itu ada juga tradisi ziarah Islam tahunan ke Mekkah dimulai dari satu hari sebelum Idul Adha.
Mahmoud Issa, seorang pensiunan guru berusia 73 tahun membeli pakaian baru untuk cucu-cucunya dan membawa mereka ke sebuah peternakan untuk membeli hewan. Namun, ia berduka atas kematian kedua putrinya Manar (39 tahun) dan Lina (13 tahun) yang meninggal dunia karena kamp pengungsi di Bureij dihancurkan Israel pada 13 Mei 2021.
“Kami dihantui rasa sakit, tetapi kami harus mengeluarkan anak-anak dari suasana ini dan membuat mereka merasakan suasana lebaran,” kata Issa dikutip Reuters.
“Sehingga mereka melupakan rasa sakit kehilangan ibu dan kakak perempuan mereka,” lanjut Issa.
Pemerintah dan Hamas mengatakan 2.200 rumah hancur dan 37.000 rusak akibat dibom militer Israel selama 11 hari pertempuran lintas perbatasan.
Lalu, lebih dari 250 warga Palestina tewas dalam ratusan serangan udara Israel di Gaza yang diluncurkan setelah Hamas mulai menembakkan roket ke Israel. Aksi tersebut sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan oleh militer Israel sebagai pelanggaran hak terhadap warga Palestina di Yerusalem.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, sementara itu di pasar ternak Gaza, mereka melaporkan penjualan yang buruk menjelang Hari Raya Iduladha.
“Tahun ini, pembelian hewan lemah karena blokade, perang, dan virus corona,” kata pedagang Saleem Abu Atwa.
“Kami berharap ketenangan terus berlanjut. Ini demi semua orang,” lanjutnya.
Selain itu di sebuah kios jalanan di lingkungan Rimal, Gaza, Mohammad Al-Qassas menyesali kehancuran toko sepatunya dalam pertempuran terjadi.
Pria berusia 23 tahun itu khawatir bahwa gencatan senjata yang ditengahi Mesir yang mengakhiri permusuhan paling serius antara militan Gaza dan Israel, beberapa tahun mungkin tidak akan bertahan lama.
“Perang lain mungkin akan menjadi bencana,” kata Al-Qassas.