ERAMADANI.COM, Inilah catatan para jurnalis ketika berhaji ke Makkah. Keduanya menjadi saksi jejak derita Muslim di Uighur, Cina. Mereka melihat langsung ketabahan mereka dan kekompakan mereka. Dengan sosok tubuh yang rata-rata telah menua mereka menjalani seluruh ritual haji dengan semangat. Beban derita tak mereka tampakan. Cuma wajah dan sorot mata mereka yang bicara.
Dilansir Republika.co.id catatan pertama datang dari wartawan senior asal Tapanuli Selatan, Mesti Arnanda Nasutuion. Dia menulis begini:
Pada musim haj 2018, kebetulan kami bersebelahan hotel dengan suku di negara Cina yang tingal di wilauahah bagian barat, yakni Uigur. Publik sekarangnya dengan sebutan Muslim Uighur. Publik di Indonesia tengah memperhannya dengan seksama, ketika mereka mendengar Muslim yang tinggal di daerah itu terus diperseksui. Tokoh Islam sudah bereaksi atas perlakuan yang tidak beradab selama ini.
Kami tinggal di daerah Mahbas Jin. Jumlah mereka tidaklah sedikit, karena ada dua hotel berlantai 15 yangg mereka huni. Lokasinya persis di kiri kanan Hotel Masaad Al Aseel, tempat kami menginap selama 30 hari.
Sampai-sampai karena banyaknya jumlah muslim Uighur ini, akhirnya membuat pengelola Masjid Kotak, masjid besar di kawasan Mahbas Jin, membuat teribisan agar mereka bisa beribadah dengan nyaman. Mereka meminta salah seorang seorang ustadz muslim Uighur untuk menjadi penterjemah ceramah rutin sehabis sholat 5 waktu yang disampaikan Syekh Arab di masjid tersebut.
Di Makkah, selama musim haji. jamaah Muslim Uighur ini sangat gampang dikenali. Dalam kesehariannya, termasuk ketika menuju Masjidil Haram, baik laki-laki maupun wanita selalu mengenakan rompi warna biru muda dipadu dgn celana panjang dan sepatu cats.
Selain itu, peci putih tak pernah lepas dari kepala jamaah laki-lakinya. Jamaah perempuan selalu mengenakan jilbab putih dan model pemasangannya juga seragam.
Dari raut wajahnya yang mulai keriput, saya memperkirakan usia mereka hampir semua di atas 50 tahun.
Namun untuk urusan menjalankan ibadah, muslim Uighur layaknya jamaah usia muda. Mereka gesit, kuat dan solid dalam menerobos kerumunan manusia. Jamaah Uighur tidak ada yang saya temukan menggunakan tongkat atau kursi roda.
Kalau berjalan mereka selalu kompak beriringan, saat tawaf pasti berpegangan dengan anggota rombongannya. Akibatnya, sulit memotong jalur mereka. Muslim Uighur ini sulit untuk “dikalahkan”.

Jamaah haji asal Cina
Sayangnya, interaksi verbal sulit dilakukan dgn muslim Uighur. Mereka rata-rata tidak bisa berbahasa Inggris. Namun “semangat dan kebahagian” yg mereka tampakkan di Makkah, ternyata berbeda jauh dengan nasib mereka di negaranya dalam menjalankan aqidahnya. Mereka ternyata orang-orang tertindas!
Catatan yang senada berasal dari kisah wartawan Republika.co.id yang pada tahun 2017 berhaji di Makkah dan lama tinggal di Madinah, Anu Nursalikhah. Ketika melijat jamaah haji Musim Uighur di tergerak untuk menuliskan catatannya. Isinya tentang sejarah dan keliatan Muslim yang tinggal di wilayah itu untuk bertahan dalam situasi represi yang sangat keras. Dia menulis begini:
Perjuangan Muslim Uighur untuk merdeka bermula pada abad ke-18 di saat Dinasti Qing menaklukkan Provinsi Xinjiang. Warga Uighur melakukan sejumlah perlawanan terhadap dinasti yang memerintah Cina hingga awal abad ke-20.
Bangsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah, terutama di Xinjiang. Namun, sejarah etnis Uighur menyebut daerahnya itu Uighuristan atau Turkestan Timur.
Negara Turkestan Timur dideklarasikan pada 1949. namun hanya seumur jagung. Di tahun itu juga, Xinjiang resmi menjadi bagian Komunis Cina.
Menurut sejarah, bangsa Uighur merdeka telah tinggal di Uighuristan lebih dari 2.000 tahun. Tapi Cina mengklaim daerah itu warisan sejarahnya, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari Cina. Orang Uighur percaya, fakta sejarah menunjukkan klaim Cina tidak berdasar dan sengaja menginterpretasikan sejarah secara salah untuk kepentingan ekspansi wilayahnya.

Muslim Uighur
Uighuristan merupakan tanah subur 1.500 mil dari Beijing, dengan luas 1,6 juta kilometer persegi atau hampir 1/6 wilayah Cina. Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina. Di utara, tanah Uighur berbatasan dengan Kazakhstan; Mongolia di timur laut; Kirgistan dan Tajikistan di barat laut; dan dengan Afghanistan-Pakistan di barat daya.
Ada dua kelompok etnis Muslim besar di Cina: Hui dan Uighur. Meski sama-sama Muslim, kedudukan kedua kelompok ini di masyarakat Cina sangat bertolak belakang.
Muslim Uighur yang aslinya berbicara bahasa turki dengan tulisan Arab mempunyai populasi sekitar delapan juta orang. Etnis Hui diperkirakan berjumlah 11 juta orang. Mereka tersebar di berbagai penjuru Cina. Namun, mereka paling banyak berada di Kawasan Otonomi Ningxia Hui.

Muslim Uighur dan Masjid Id Kah, Kashgar, Xianjiang, Cina.
Tidak seperti Hui, Uighur menghadapi sejumlah diskriminasi. Laporan Human Rights Watch 2013 tentang Cina mengatakan atas nama upaya kontraterorisme dan antiseparatisme, pemerintah mempertahankan sistem diskriminasi etnis terhadap Uighur dan secara tajam mengekang ekspresi agama dan budaya.
Muslim Hui lebih bisa berbaur dengan masyarakat Cina pada umumnya. Salah satunya karena faktor bahasa. Uighur tidak begitu menguasai bahasa Mandarin.. Berbeda dengan Hui yang berbicara dalam bahasa Mandarin sehingga memiliki kesempatan untuk memperbaiki kehidupan.
Perbedaan bahasa ini juga menyebabkan pandangan miring dari masyarakat. Mereka menganggap Muslim Uighur adalah golongan yang tidak berpendidikan.
Belum lagi bias dari pemberitaan media pemerintah. Adanya kejahatan atau kekerasan yang dilakukan Uighur dengan cepat diberi label aksi terorisme. Hui tidak mengalami hal ini. Pelabelan ini menjadi stereotip bagi publik. Pelabelan ini juga menjadi tantangan besar bagi Uighur.
Meski situasinya rumit, banyak yang mengatakan faktor ekonomi dan budaya menjadi akar penyebab kekerasan. Aktivis mengatakan aktivitas perdagangan dan kebudayaan Uighur maskin dikekang pemerintah Cina. memang budaya Uighur lebih condong ke Asia Tengah ketimbang Cina.
Pada Juli 2014, sejumlah departemen pemerintah Xinjiang melarang pegawai negeri Muslim berpuasa selama Ramadhan. Pengawasan terhadap masjid dan sekolah Islam juga sangat ketat. Anak-anak Muslim yang bersekolah diminta menandatangani kontrak yang isinya mereka berjanji tidak shalat, berpuasa, dan pergi ke masjid.
Yang terbaru adalah adanya sebuah kamp penahanan dimana satu juta Muslim Uighur dipaksa menjalani indoktrinasi. Badan HAM PBB mengatakan etnis minoritas itu disekap dalam fasilitas rahasia. Laporan tersebut mengatakan sekitar dua juta etnis Uighur dan minoritas Muslim ditahan di sebuah kamp politik guna menjalani proses cuci otak.
Sejumlah kesaksian dari warga Uighur menyebut mereka hidup ketakutan di Cina. Mereka merasa diperlakukan layaknya musuh negara.
Sejarah bangsa Uighur sedemikian panjang jika diturut. Perjuangan mereka untuk hidup dan menjalankan keyakinannya ke depan pun masih panjang dan nampak tak berujung.
Kegigihan mereka mengingatkan saya pada sepotong ayat kitabullah, Al-Baqarah ayat 153. “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Jamaah haji asal Uighur bercanda dengan petugas keamanan Bandara Jeddah untuk melepaskan ketenganan pada saat kepulangannya pada musim haji tahun 2018.
Sementara jurnalis Republika, Fitriyan Zamzami, yang tahun ini bertugas meliput haji selama tiga bulan, menuis catatan yang tak kalah menarik. Dia menulis mengenai parodi yang terjadi pada jamaah haji China. Di Bandara Jeddah sewaktu jamaah haji Uighur akan pulang mereka dijaga ketat. Bahkan, terindikasi petugas keamanan asal Cina menggiring merea sampai tangga pesawat.
Uniknya ketika para petugas datang, para jamaah haji Uighur memang terlihat tegang. Namun mereka terlihat paham bagaimana mencairkan suasana tegas itu. Di antara para jamaah kemudian ada yang berinisiatif membuat suasana menjadi rileks dengan mengajak para jamaa bernyanyi dan beranda. Namun, bagi orang yang melihat langsung suasana itu memang terasa ada perasaan yang mencekam dan tegang.
Fitriyan yang kala itu berada langsung di Bandara Jeddah, Arab Saui, menuliskan kisahnya seperti ini:
Namanya juga selepas berhaji, wajah-wajah jamaah dari Cina di Bandara King Abdulaziz, Jeddah pada Kamis (30/8) pagi itu nampak ceria. Mereka saling mengobrol. Sembari menunggu keberangkatan di Plaza D Bandara Jeddah, saling bertukar panganan, bukan hanya dengan rekan senegara tapi juga dengan jamaah negara-negara lain.
Meski sebagian nampak tak muda, tak ada raut kelelahan dan kebanyakan nampak bugar. Hampir semua jamaah pria mengenakan peci putih khas dan yang perempuan berjilbab serta mengenakan setelan celana dan baju serta rompi longgar. Beberapa lainnya mengenakan abaya hitam khas Saudi.
Suasana tiba-tiba berubah menjelang tengah hari. Ketika itu, datang sejumlah pria berseragam dan berambut cepak di antara jamaah. Mereka bersepatu bot, celana kargo, kemeja penuh saku, dan berperawakan tegap.

Petugas keamanan asal Cina turun langsung mengawasi kepulangan jamaah haji Uighir di Bandara Jeddah. Lihat seragam yang dipakai mereka. (fitriyan zamzami).
Berbagai lencana dan tanda pangkat dilucuti dari seragam tersebut kecuali sepetak bendera Cina di lengan. Begitupun, pin di topi salah satu dari mereka menunjukkan lambang kepolisian Republik Rakyat Cina.
Mereka mulanya berbaris dan memindai jamaah satu persatu. Beberapa merangsek dalam gerombolan dan memeriksa barang bawaan jamaah.Maka, keriangan jamaah perlahan meredup. Obrolan kemudian jadi bisik-bisik. Sebagian jamaah hanya memandang para pria perseragam itu dari sudut mata mereka.
Pria-pria berseragam itu tak nampak pada kedatangan jamaah Cina di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah atau Bandara Jeddah. Jamaah Cina biasanya disambut petugas yang berpakaian kasual, beberapa bahkan hanya bercelana training dan kaus oblong saja. Di antara jamaah dari seluruh dunia yang tiba di bandara Saudi, hanya jamaah Cina yang ditemani petugas berseragam paramiliter tersebut.
“Kami juga tidak tahu mengapa mereka di sini. Peraturan di negara kami memang sekarang lebih keras,” kata Ismail seorang jamaah paruh baya, satu dari sedikit di antara jamaah yang bisa berbahasa Arab.
Ismail bersama ratusan jamaah yang menyertainya hari itu berasal dari Lanzhou, ibu kota Provinsi Gansu, yang terletak di jantung wilayah Cina. Bersama Linxia, Lanzhou adalah wilayah di Gansu yang sejak lama jadi pusat konsentrasi etnis Hui yang hampir semuanya beragama Islam.
Menjelang keberangkatan, ketegangan kian meningkat saat jamaah dibariskan menuju pesawat. Pemimpin rombongan kemudian diminta mengganti bendera kelompok berwarna hijau dengan bendera merah berbintang lima.
Salah satu pria berseragam hitam kemudian mendampingi rombongan pertama berjalan menuju gerbang keberangkatan. “Nanti mereka dikawal sampai pesawat,” kata salah seorang petugas maskapai dalam bahasa Inggris kepada Republika.co.id. Ia mengiyakan, para pria berseragam adalah aparat keamanan Cina.
Di tengah ketegangan tersebut, hadirlah Ahmad Abu Yazan, seorang petugas bandara asli Arab Saudi. Sejak awal mula kedatangan jamaah Cina, pria paruh baya itu sudah mencoba akrab. Ishaka, salah seorang jamaah dari Lanzhou, ia paksa menerima pemberian roti berisi semacam yoghurt khas Saudi.
Sementara menjelang keberangkatan, di tengah-tengah jamaah yang mulai tak sabar menanti keberangkatan, polahnya kian konyol. Satu persatu jamaah ia tantang dengan pose kungfu. “Bruce Lee… Bruce Lee…,” kata dia tak sadar sedang melakukan sejenis stereotip kepada jamaah Cina.Mulanya tak ada yang meladeni, hingga akhirnya dua pemuda beranjak dari duduk mereka. Berhadapan dengan Abu Yazan, mereka kasih lihat gerakan-gerakan Baji Quan, jenis bela diri khas etnis Hui. Abu Yazan meladeni sebisanya dan mereka kemudian terlibat pura-pura bakupukul dan berpelukan setelahnya.
Semua orang tertawa, bahkan para aparat berseragam. Untuk sejenak ketegangan mereda. Ada senyum lagi di wajah-wajah jamaah Cina sebelum berangkat menjelang apapun yang menanti di tanah air mereka.
Abu Yazan nampak puas dengan aksinya. Sembari bertolak pinggang ia pandangi rombongan jamaah Cina berangkat dengan kawalan pria-pria berseragam. “Ikhwan, ikhwan…,” kata dia sembari menunjuk saudara-saudara seimannya.