ERAMADANI.COM, DENPASAR – Umbu Wulang Landu Paranggi tutup usia pada usianya yang ke-78, Selasa (6/4/21). Penyair kondang yang mendapat julukan “Presiden Malioboro” ini meninggal dunia usai menjalani perawatan di Rumah Sakit Bali Mandara, dengan dugaan terkena COVID-19.
Berdasarkan keterangan salah satu penyair Bali, Wayan Jengki Sunarta, penyair yang melahirkan sajak “Sabana” itu menjalani perawatan di rumah sakit sejak Sabtu, 3 April 2021 malam.
“Pak Umbu kritis sejak tadi malam dan wafat pada Selasa dini hari pukul 03:55 WITA,” jelas Jengki.
Ia yang juga menunggu Umbu di rumah sakit sejak 5 April itu menceritakan kondisi saat di rumah sakit.
“Saya bersama Mbak Dwi, Nuryana, Holi, Phala, dan kawan-kawan lain menunggu di rumah sakit. Kami gak bisa nengok Pak Umbu langsung, tetapi menunggu di lobi, tim medis yang memberikan informasi berkala pada kami,” paparnya, mengutip idntimes.com.
Pada Sabtu, 3 April 2021 sekitar pukul 19:00 WITA, penyair kondang itu diantar ke rumah sakit oleh beberapa pegiat sastra.
Para pegiat sastra itu pun menunggui dan memantau kondisinya di rumah sakit hingga ia meninggal dunia.
“Kami semua merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau dan Indonesia tentu kehilangan salah satu putra terbaiknya di bidang sastra,” tutur Jengki.
Jengki pun mengungkapkan bahwa Umbu selalu punya cara unik untuk membangkitkan gairah apresiasi sastra.
Sosok Umbu Landu Paranggi
Umbu Wulang Landu Paranggi lahir di Sumba Timur, 10 Agustus 1943. Ia adalah seniman yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.
Pada 1968, ia bersama penyair seperti Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara membidani dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK), yang menangani rubrik puisi di mingguan Pelopor Yogya.
Komunitas sastra itu, khususnya juga Umbu, telah menjadi guru bagi para penyair atau seniman muda pada tahun 1970-an seperti Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Yudistira Adi Nugraha, Eko Tunas, dan Ebiet G. Ade.
Selama masa hidupnya, telah banyak karya-karyanya berupa esai dan puisi yang terpublikasikan di berbagai media massa.
Ia kemudian menetap di Bali sejak 1979.
Pada tahun 2020, ia mendapatkan penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra.
(ITM)