ERAMADANI.COM, JAKARTA – 24 September 2019 nanti, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP ) punya jadwal untuk di sahkan. Namun berbagai reaksi muncul jelang pengesahan sumber aturan tersebut.
Dikutip dari BBC news Indonesia, RKUHP pasal 470 yang nantinya di sahkan, punya banyak efek negatif. Dalam RKUHP tersebut menjelaskan bahwa wanita di larang mengaborsi anak yang dia kandung meski itu adalah hasil kekerasan seksual atau pemerkosaan.
Berbagai pihak menganggap RKUHP ini menjadi bumerang bagi para korban. Salah satu diantaranya adalah The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menilai RKUHP ini belum sempurna untuk di sahkan. Karena dengan aturan tersebut dapat meningkatkan diskriminasi terhadap perempuan atau korban perempuan dalam kekerasan seksual.
Pidana penjara selama 4 tahun akan di berikan kepada setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya. Peraturan ini tidak memiliki pengecualian terhadap korban kekerasan seksual atau pemerkosaan.
Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi, mengatakan DPR masih akan menambahkan pengecualian mengenai kondisi darurat medis untuk melakukan aborsi.
Namun, tidak untuk korban perkosaan.
“Di dalam konteks Islam ketika itu sudah 40 hari itu tidak boleh digugurkan lagi,” kata Taufiqulhadi.
RKUHP Membekas Tanya
Seorang peneliti dari ICJR kemudian menyampaikan pendapatnya. Ia mengatakan usia kehamilan, yang menjadi prasyarat aborsi, telah memicu kriminalisasi pada korban perkosaan, sebagaimana terjadi pada WA di Jambi dan BL di Jakarta.
“Harapannya, perumus RKUHP juga meneliti kembali apakah batasan 6 minggu atau 40 hari itu sudah cukup memberikan perlindungan bagi temen-teman korban perkosaan,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan bahwa banyak korban yang tidak tau dia hamil dalam kurun waktu tersebut atau merasa malu sehingga tidak dapat memproses ke pihak yang berwajib.
Kedepannya jika tetap berlangsung maka akan marak dilakukan pernikahan di bawah umur, dengan asumsi jika banyak anak perempuan yang menjadi korban. Kebanyakan masyarakat dan orang tua menganggap bahwa si perempuan harus di nikahkan karena itu sebuah aib. Dan tidak mau memproses nya secara hukum.
Selain itu para korban juga rentan melakukan aborsi secara ilegal yang tentunya lebih membahayakan.
Peraturan ini juga di nilai tidak ramah terhadap psikologi anak perempuan terkait. Menurut I Komang Sutrisna, Ketua Aliansi Satu Visi, sebuah organisasi yang fokus pada kesehatan reproduksi, mengatakan peraturan seperti itu malah akan membuat remaja terpaksa melakukan aborsi yang tidak aman.
Atau, kata Komang, mereka akan terpaksa untuk melakukan perkawinan dini karena sudah hamil, meski kondisi psikologis mereka tertekan.
“Banyak implikasi sosial yang ikut setelah UU ini disahkan, Perkawinan anak akan lebih banyak,” ujarnya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas ICJR meminta DPR mengkaji kembali RKUHP ini. (IAA)