Kasus Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti, telah mengguncang dunia peradilan Indonesia. Vonis bebas yang diterimanya di Pengadilan Negeri Surabaya memicu serangkaian investigasi dan pengusutan yang mengungkap dugaan praktik mafia peradilan, bahkan hingga ke level Mahkamah Agung (MA).
Awal Mula Tragedi dan Vonis Bebas yang Mengundang Kontroversi
Ronald Tannur, putra dari seorang politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Edward Tannur, ditangkap pada November 2023 atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afriyanti. Keduanya terlibat kecelakaan setelah menghabiskan malam di sebuah tempat karaoke di Surabaya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ronald Tannur dengan tuduhan pembunuhan berdasarkan Pasal 338 KUH Pidana atau Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. JPU menuntut Ronald Tannur dengan hukuman penjara 12 tahun dan restitusi Rp 263 juta.
Namun, pada Juli 2024, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai oleh Erintuah Damanik (ED) dan hakim anggota Mangapul (M) dan Heru Hanindyo (HH) memutuskan Ronald Tannur tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan.
Kejanggalan Vonis Bebas dan Investigasi Komisi Yudisial
Vonis bebas Ronald Tannur memicu kontroversi dan kecurigaan. Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya mengajukan kasasi ke MA untuk melawan vonis tersebut. JPU dalam memori kasasinya menyorot sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan majelis hakim yang membebaskan Ronald Tannur.
Komisi Yudisial (KY), lembaga pengawas para hakim, juga melakukan investigasi dan penyelidikan atas kasus ini. Hasil pengusutan KY pada Agustus 2024 mengungkap banyaknya kejanggalan dalam vonis bebas Ronald Tannur. KY menemukan bahwa pertimbangan majelis hakim tidak berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
KY menyatakan bahwa ketiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur, yaitu hakim ED, hakim M, dan hakim HH, melanggar kode etik pedoman dan prilaku hakim (KEPPH). Dalam rekomendasinya kepada MA, KY meminta ketiga hakim tersebut dipecat.
Dugaan Pelarian dan Permintaan Pencegahan
Setelah mendapatkan vonis bebas, Ronald Tannur dikabarkan akan pergi ke luar negeri. Kejaksaan yang tengah mengajukan kasasi tidak dapat melakukan pencegahan meskipun telah meminta pihak imigrasi untuk mencabut paspor Ronald Tannur. Dalam memori kasasinya, JPU meminta hakim agung yang memeriksa kasasi kasus pembunuhan Dini Sera untuk menggunakan kewenangan peradilan guna mencegah Ronald Tannur ke luar negeri.
Penyelidikan dan Penyidikan Tim Jampidsus-Kejagung
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa banyaknya kejanggalan dalam vonis bebas Ronald Tannur membuat tim di Kejagung melakukan pemantauan, pengawasan, penyelidikan, hingga penyidikan terhadap semua pihak yang terlibat.
"Ini dilakukan sejak putusan Pengadilan Negeri Surabaya itu dibacakan. Karena kami menduga, ada tindak pidana yang kuat pascapembacaan putusan bebas terhadap (terdakwa) Ronald Tannur tersebut," ujar Harli di Kejagung, Jakarta, Rabu (23/10/2024).
Terbongkarnya Mafia Peradilan di MA
Penyelidikan yang dilakukan oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung akhirnya membuahkan hasil. Pada Kamis (24/10/2024), tim penyidik Jampidsus menangkap beberapa pejabat tinggi MA yang diduga terlibat dalam praktik suap dan gratifikasi terkait vonis bebas Ronald Tannur.
Penangkapan ini mengungkap dugaan keterlibatan mafia peradilan di MA. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik suap dan gratifikasi tidak hanya terjadi di tingkat pengadilan negeri, tetapi juga merambah ke lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Dampak dan Implikasi Kasus Ronald Tannur
Kasus Ronald Tannur telah mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia. Vonis bebas yang diwarnai dugaan suap dan gratifikasi ini menunjukkan bahwa keadilan tidak selalu ditegakkan dan uang dapat membeli kebebasan.