ERAMADANI.COM, DENPASAR – Kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia dalam enam bulan terakhir ini kian melonjak. Berbagai usaha pemerintah telah dilakukan, tetapi jumlah korban semakin bertambah setiap harinya.
Baru–baru ini pemerintah telah mengambil tindakan tegas, dengan menerapkan sistem denda Rp 100.000 bagi masyarakat yang tidak menggunakan masker.
Denda Rp 1.000.000 bagi perusahaan yang tidak menerapkan protokol kesehatan (prokes).
Namun, kebijakan tersebut menjadi polemik hingga saat ini, sebab tidak semua daerah mampu menerapkan sanksi itu terhadap masyarakatnya.
Di tengah himpitan ekonomi, masyarakat semakin merasa sesak akibat banyaknya peraturan pemerintah yang tumpang tindih.
Hingga kini, kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 232.628 terkonfirmasi positif.
Dengan penambahan jumlah kasus nasional per 17 Septemebr 2020 kemarin mencapai 3.635 orang.
Lonjakan tersebut tentu bukan hal yang sepele.
Mengingat baik pemerintah pusat dan daerah sudah berusaha semaksimal mungkin memperketat penerapan prokes bagi warganya.
Gelombang pertama penyebaran virus Corona di Indonesia terlihat belum menunjukkan akhir.
Lantas Mengapa Prokes Sulit Dipatuhi oleh Masyarakat?
Dilansir dari bbc.com, seorang pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan tidak disiplinnya masyarakat menjalankan prokes disebabkan oleh 4 hal.
- Keterbatasan pengetahuan: Ketidaktahuan masyarakat akan penyakit ini, karena kita ketahui pandemi ini baru dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 2020 ini. Belum ada penelitian pasti apa penyebab dan seperti apa penyaki Covid-19 ini.
- Tidak ada pengalaman: Berbeda dengan demam berdarah, campak, malaria, dan sebagainya, semua orang tahu tentang penyakit tersebut dan punya pengalaman baik untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Covid-19 yang benar berbahaya bahkan bisa mematikan jika sudah positif terpapar.
- Tidak tampak oleh penglihatan: Masyarakat tidak melihat langung sejauh mana Covid-19 diberitakan berbahaya oleh pemerintah dan media, karena selama ini yang disodorkan kepada masyarakat adalah angka dan data saja.
- Penyebaran berita bohong/hoax: Berita bohong yang menyebar di media sosial, contohnya pemberitaan tentang konspirasi, perang senjata biologis, ulah kelompok, dan sebagainya menyebabkan masyarakat tidak sepenuhnya memercayai bahwa Covid-19 ini ada.
Sejak Presiden Jokowi mengumumkan ditemukannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada awal tahun 2020, hingga saat ini negara belum menemukan titik rendah tingkat penyebaran virus ini.
Penemuan yang terus ada ialah penambahan kasus yang tidak terkendali dan berakibat pada peningkatan okupansi rumah sakit.
“Kapasitas 65% saja sudah warning, tapi sekarang sudah 85% overcapacity yang berdampak pada mutu layanan,” kata Hermawan Saputra, pengurus Pusat Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (Permapkin).
Lantas Apa Solusi yang Bisa Diterapkan?
Peneliti dari ITB, Nuning, pengurus Permapkin, Hermawan, dan pengamat, Devie berpendapat tentang solusi atas penambahan kasus Covid-19 ini, yang berujung pada satu simpulan.
Pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat mulai dari level keluarga untuk mengubah perilaku.
“Cuma satu yaitu laksanakan protokol kesehatan yang sangat ketat,
dengan mengubah perilaku dimulai dari satuan terkecil, yaitu keluarga karena menunggu vaksin butuh waktu panjang dan tidak bisa masif.”
Nuning
“Solusinya adalah community-based fighting initiative, atau perang akar rumput melawan Covid.
Contoh, kalau mulai dari keluarga, RT, dan kampung ada kesadaran kolektif menegakan protokol kesehatan dan menyediakan tempat isolasi mandiri,
tidak ada stigmatisasi, kebutuhan pokok dipenuhi, menjaga kebersihan bersama, maka akan sangat terminimalisir kematian dan pasien di RS.”
Hermawan
“Pertama adalah sosialisasi tiada henti dan tidak pernah bosan.
Kedua, edukasi tokoh publik, karena karakter masyarakat patron-klien, untuk memberikan info benar dan positif kepada pengikutnya.
Ketiga, demonstrasi simbolik seperti menunjukkan peti, baju APD, dll di tempat umum untuk meningkatkan sense of crisis yang telah memudar dan terakhir adalah terus melakukan isolasi bagi yang positif.”
Devie
(LWI)