ERAMADANI.COM, MANGUPURA – Selasa (03/09/2019) kemarin, Musholla Umar Bin Khatab ( UBK ) Jalan Arsitek, Perumahan Bhumi Jimbaran Asri, Badung mengadakan kajian seputar Thaharah. Kajian ini diselenggarakan usai Sholat Maghrib hingga masuk waktu shalat Isya.
Selain dihadiri oleh jamaah Musholla UBK, kajian ilmu pekanan ini dihadiri oleh mahasiswa Muslim Universitas Udayana, anggota forum persaudaraan mahasiswa islam (FPMI) Universitas Udayana dan Komunitas Mahasiswa Sasak (KMOSSAK) Bali.
Dalam kajian ilmiah ini, narasumber yang dihadirkan ialah Ustadz Heri Hariyadi Lc . Beliau merupakan Ketua ormas Persatuan Umat Islam (PUI) Bali dan Pembina Komunitas Lingkar Peradaban.
Ustadz Heri Hariyadi, Lc membawakan tema Fiqih Thaharah. Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan dalam ajaran agama Islam tentang hukum-hukum syar’i islam.
Bahasa umumnya ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang diwajibkan untuk ummat Islam dan hak-hak Allah ﷻ. Ustadz Heri membedah buku kitab fiqih pedoman 4 mahzab karangan Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim Ta’liq.
Hakikat Thaharah dan Keutamaannya Untuk Dipelajari
Thaharah wajib diketahui oleh umat Islam. Sebab Thaharah merupakan tata cara bersuci untuk beribadah.
Secara bahasa Thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, Thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran (yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah yang bersih.
Taharah dilakukan agar ibadah seperti shalat tidak batal dan sah. Menurut Ustadz Heri ada dua jenis taharah
“Thaharah hakikiah yakni bersuci dari hal yang terlihat seperti najis. Lalu thaharah yang kedua ialah taharah secara maknawi seperti hadas” papar Ustadz lulusan Lipia ini
Terkadang banyak umat Islam yang tidak paham mana yang dikategorikan najid maupun hadas.
“Hadas adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak boleh shalat sebelum melakukan taharah contohnya (maaf) buang angin. Berbeda dengan najis. Najis merupakan segala sesuatu yang nampak syariat contohnya air seni bayi. Taharahnya cukup dengan mencuci sesuatu yang terkena najis” pungkasnya.
Mengenai permasalahan najis. Pada zaman Nabi Muhammad SAW pernah ada seorang baduy (umat yang hidup di pedesaan dan belum memahami islam dengan baik) buang air aeni di dinding Masjid.
Melihat hal tersebut Rasulullah SAW tidak menegur secara langsung dan menunggu si orang baduy ini menyelesaikan ” hajatnya”. Rasulullah tidak sedikitpun marah dan malah menyuruh para sahabat menyiram bekas air seni di dinding dekat masjid.
Hingga akhirnya orang baduy ini di beritahukan secara halus. Dari masalah najis ini dapat disimpulkan bahwa dakwah perlu sebuah kesabaran.
“Beragam jenis najis yang harus dilakukan thaharah oleh umat ialah cairan mani, cairan mazi, cairan wadi, darah haid, kotoran hewan, daging babi dan olahannya, bangkai kecuali ikan, dan air liur hewan anjing” kata Ustadz .
Ilmu Yang Berguna Dalam Kondisi Apapun
Sesi tanya jawab menjadi bagian yang menarik saat kajian ilmu di Musholla Umar Bin Khatab. Seorang jamaah menanyakan mengenai cara Thaharah ketika mendaki gunung dengan kondisi air terbatas dan hukum bersalaman dengan kawan non muslim yang memelihara anjing.
Ustadz menjawab, “Bila tidak ada sumber air bisa bertaharah dengan tayamum. Untuk membasuh kemaluan ketika buang air kecil bisa disiram dengan air mineral.”
“Dilanjutkan dengan hukum bersalaman dengan akwan non muslim hukumnya tidak najis. Karena najis tidak akan berpindah. Sebab yang menjadi najis adalah orang yang memelihara anjing. Najis yang bersifat kering tidak akan berpindah” imbuhnya.
Kajian ditutup dengan shalat Isya berjamaah dan akan disambung bulan depan di hari dan jam yang sama. (HAD)