ERAMADANI.COM – Isu mengenai kewajiban sertifikasi halal bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjadi perbincangan hangat. Di Bali, upaya untuk mempertimbangkan kekhususan dan fleksibilitas dalam menerapkan aturan tersebut mengingat adat dan budaya yang unik.
Menurut I Wayan Ekadina, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Provinsi Bali, sertifikasi halal telah menjadi bagian dari regulasi yang mengikat semua produk.
Tujuannya adalah untuk melindungi konsumen serta pelaku usaha, meskipun demikian, penerapannya diharapkan dapat mengakomodasi kekhasan setempat.
Ekadina menjelaskan bahwa meskipun ada kewajiban sertifikasi halal, Bali mengharapkan fleksibilitas dalam penerapannya.
Tidak semua produk di Bali mungkin cocok untuk mendapatkan sertifikasi halal, dan pemerintah daerah siap memfasilitasi hal tersebut.
Dia juga menegaskan bahwa Kementerian Agama telah menyediakan layanan pengurusan sertifikasi halal secara gratis, yang menampik anggapan bahwa biaya pengurusan menjadi hambatan.
Melansir dari nusabali.com, Pemerintah Bali berharap dapat mendapatkan kekhususan terkait kewajiban sertifikasi halal, di mana aturan tersebut tidak harus diberlakukan secara ketat kecuali untuk produk yang memungkinkan.
Meskipun demikian, Ekadina menegaskan bahwa pemerintah tetap mendukung sertifikasi halal sesuai dengan potensi yang ada di Bali.
Wajibnya sertifikasi halal untuk UMKM termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
UMKM, termasuk pedagang kaki lima, diharuskan memiliki sertifikat halal untuk produk-produk mereka paling lambat pada tanggal 17 Oktober 2024 atau sebelum 18 Oktober 2024.