ERAMADANI.COM, YOGYAKARTA – Dunia maya, khususnya Twitter, diramaikan oleh tanda pagar (tagar) #DIYdaruratklitih. Kurang lebih dari 30.000 twit tersebar dengan tanda tagar klitih tersebut.
Hingga pada Selasa, (04/02/2020) kemarin, sekitar pukul 08.00 WIB, dunia twitter tak henti hentinya dibanjir tanda tagar #DIYdaruratklitih.
Dilansir dari Kompas.com, hal itu dikarenakan munculnya beberapa kasus kekerasan remaja di Yogyakarta yang dikenal dengan nama klitih.
Kabar terbaru, korban atas nama Fatur Nizar Rakadio (16) meninggal dunia, Kamis (09/01/2020) bulan lalu.
Fatur menjadi korban klitih di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul, pada Desember 2019 lalu. Fatur, warga Trimulyo, Kecamatan Jetis, Bantul, itu sempat mendapatkan perawatan, tetapi nyawanya tak tertolong.
Apa itu Klitih?
Dalam Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata klithih tidak berdiri tunggal, tetapi merupakan kata ulang, yaitu klithah-klithih. Kata klithah-klithih itu dimaknai sebagai berjalan bolak-balik agak kebingungan.
Kata tersebut tak memiliki unsur kegiatan negatif. Melalui pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Pranowo, klithah diartikan sebagai keluyuran yang tak menentu atau tak jelas arah.
Klithah-klithih tersebut tergolong dalam kategori dwilingga salin suara atau kata ulang berubah bunyi, seperti mondar-mandir dan pontang-panting.
“Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas,” kata Pranowo.
“Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” tambahnya.
Awalnya geng pelajar
Dulunya klitih merujuk pada kekerasan di kalangan remaja atau kelompok kriminal pelajar (geng pelajar) di Yogyakarta. geng pelajar ini juga pernah muncul di era 1990-an.
Tepatnya pada 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta.
Kemudian di sekitar tahun 2000-an, tawuran antarpelajar mulai menggeliat dan membuat Wali Kota Yogyakarta ketika itu, Herry Zudianto, menjadi waswas.
Herry memberikan instruksi kepada sekolah-sekolah bila ada pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran akan dikembalikan kepada orangtuanya atau dikeluarkan. Instruksi tersebut sempat dinilai ampuh untuk menangkal munculnya geng remaja.
Selain itu, instruksi tersebut juga dinilai ampuh dan membuat beberapa geng pelajar ketika itu kesulitan mencari musuh.
Tidak tuntas
Soeprapto selaku Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjelaskan bahwa penyelesaian kasus klitih tidak tuntas seluruhnya.
Walaupun demikian, pihak yang berwajib yakni kepolisian telah berbuat banyak menangani kasus ini.
Dalam pandangan Soeprapto, klitih ibarat rumput yang tidak tuntas dibersihkan, saat hujan tumbuh lagi. Menurutnya penyelesaiannya tak hanya dari sisi hukum, tetapi harus sampai pada akar permasalahan.
“Momen munculnya klitih juga saat ada pesanan dari pihak tertentu,” kata Soeprapto, seperti diberitakan Kompas.com, Senin (13/01/2020).
Lebih lanjut, fenomena klitih di Yogyakarta juga dapat muncul ketika sebuah kelompok melakukan rekrutmen anggota baru.
Saat itu, para anggota geng atau kelompok ingin unjuk diri atau menunjukkan eksistensinya dengan melakukan tindakan kekerasan.
Solusi Penyelesaian klitih
Ia berpendapat, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk penyelesaian klitih. Di antaranya yakni mempelajari struktur organisasi para remaja yang jadi pelaku dalam kasus klitih ini.
kemudian, dapat dilanjutkan dengan menelusuri pelaku hingga pada sumber pergerakannya.
Sementara untuk upaya penanganan dan pencegahan, dapat dilakukan dengan integrasi antar-stakeholder ataupun antarlembaga.
Adapun stakeholder tersebut dimulai dari keluarga, bidang pendidikan, ekonomi, pemuka agama, dan lembaga pemerintah. (MYR)