Opini berjudul “Cerdasnya Para Pendiri Negeri”
Oleh: M Afnan Hadikusumo
(Senator DPD RI 2019-2024, Ketua Umum PP Tapak Suci)
ERAMADANI.COM, YOKYAKARTA – Tahun 1950 an, Indonesia dibuat geger karena muncul Raja dan Ratu Suku Anak Dalam yang mengaku dapat membantu pembebasan Irian Barat.
Pasangan tersebut bernama Raja Idrus dan Ratu Markonah. Para pejabat Indonesia menyambut dengan tangan terbuka atas kunjungan Raja Idrus dan sang permaisuri.
Eloknya lagi, ada seorang pejabat yang memperkenalkan sang raja dan ratu itu kepada Presiden Soekarno.
Penuhi Undangan Pendiri Negeri
Pucuk dicinta ulam tiba, Presiden Soekarno sebagai pendiri negeri kemudian mengundang Idrus dan Markonah ke Istana Merdeka. Di istana, tentu saja keduanya mendapat sambutan dan dijamu layaknya tamu terhormat.
Tidak ketinggalan mereka juga diberi uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat. Bahkan diberitakan mereka menginap dan makan gratis di hotel selama berminggu-minggu.
Koran Marhaen dan Duta Masyarakat waktu itu memasang foto pertemuan Markonah dengan Bung Karno. Di foto itu, Markonah yang memakai kaca mata cengdem (seceng adem) dengan sang suami.
Berpose bersama Bung Karno yang juga senang memakai kacamata hitam. Di keterangan foto disebutkan, Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu pembebasan Irian Barat.
Naasnya, dari pemberitaan di media tersebut ada tukang becak yang mengenali Idrus, karena Idrus itu ternyata tukang becak (bukan BETOR).
Dari sinilah wartawan melakukan investigasi dan membongkar kedok penipu itu. Markonah (mohon maaf) ternyata seorang pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah.
Tujuh puluh tahun kemudian, yakni di tahun 2020 ini, muncul kembali raja dan ratu gadungan dari Keraton Agung Sejagat yakni Toto Santosa dan Fanni Aminadia.
Mulai dikenal luas setelah menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya, Jumat (10/01/2020), di Desa Pogung Juru Tengah, Kabupaten Purworejo, Jateng, dengan pengikut sekitar 500 an orang.
Pengikutnya berasal dari kalangan menengah ke bawah secara ekonomi, dengan latar pendidikan “kurang memadai”, serta sebagian besar berusia tua.
Kehadiran Sunda Empire
Yang lebih heboh lagi adalah kehadiran Sunda Empire di Video yang diunggah di youtube, menurut Ki Ageng Ranggasasana sebagai Gubernur Jenderal Nusantara Territory berpangkat Letnan Jenderal.
Kekaisaran ini membawahi lebih dari 150 negara di dunia. Menurutnya, nama Sunda bukan merujuk pada sebuah suku yang ada di Jawa Barat. Sunda itu berartikan SUN = matahari.
Jadi kekaisaran matahari karena bumi itu berasal dari percikan matahari yang membekum sebagaimana dilamnsir BBC News Indonesia, Minggu (19/1/2020).
Lebih dahsyatnya lagi, dia mengklaim anggota Sunda Empire adalah kepala negara atau kepala pemerintahan dari 196 negara dan rakyatnya adalah semua penghuni bumi, atau oendiri negeri.
Selain itu, di Blora juga ditemukan yayasan Kraton Jipang, Bedanya Yayasan ini terdaftar di Kemenkumham dan hanya sekedar untuk pelestarian budaya serta meningkatkan kunjungan pariwisata.
Di Tasik Malaya pun diketemukan Kesultanan Selacau, didirikan pada 2004 oleh Rohidin Warga Kecamatan Parung Ponteng, Kabupaten Tasikmalaya.
Rohidin yang profesinya sebagai penjahit mengaku sebagai keturunan ke 9 dari Raja Padjadjaran Wirawisesa, dengan gelar Sultan Patra Kusumah 8.
Kenapa sebagian masyarakat kita mudah percaya dan tertarik ikut serta dalam aktifitas kerajaan palsu dan sejenisnya ini? Tentunya tidak lepas dari peran para ‘DOLOP’ di tengah mental instan sebagian masyarakat.
Dolop berasal dari bahasa Jawa yang artinya orang yang digunakan untuk memancing orang lainnya untuk mau ikut Judi.
Tugasnya adalah membujuk, merayu, membesarkan hati, atau memuji individu atau kelompok tertentu secara berlebih-lebihan.
Merekalah yang bekerja keras melalui gethok tular menyampaikan kehebatan “individu/kelompok tertentu” (padahal tidak hebat) dengan berlebihan kepada masyarakat luas.
Secara ilmu komunikasi, peran ‘dolop’ ini sangat luar biasa, karena dapat mempengaruhi orang yang tadinya tidak tertarik menjadi tertarik.
Ketertarikan itu juga tidak lepas dari mental instan sebagian masyarakat kita yang mudah sekali gumunan dan kagetan.
Maka tidak salah, jika di jaman pra kemerdekaan, pendiri Muhammadiyah yakni KHA. Dahlan, Pendiri Boedi Oetomo, Pendiri Taman Siswa memulainya dengan mendirikan sekolahan.
Dengan tujuan memberantas kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Ini tidak lain untuk mengurangi mental instan yang diidap sebagian masyarakat kita.
Dengan kondisi masyarakat yang cerdas, mandiri dan maju, maka masyarakat tidak akan mudah termakan nyanyian para ‘DOLOP’. (HAD)