ERAMADANI.COM, – Setiap yang bernyawa tentu pernah mengalami yang namanya musibah, baik itu sakit, bencana alam, maupun meninggal dunia. Itulah hidup yang perlu yang dinikmati dan syukuri serta percaya bahwa ada hikmah dibalik musibah.
Tak hanya itu fenomena lainnya seperti kekeringan, kelaparan, melambungnya harga kebutuhan hidup, paceklik dan peperangan berkepanjangan membuat taraf hidup masyarakat menjadi ‘miskin’.
Allah SWT sedang menguji hamba-Nya di berbagai belahan negeri-negeri dengan berbagai musibah berupa penderitaan hidup. Dalam sejarah Islam realita serupa pernah pula terjadi bahkan peristiwanya sangat tragis.
Dilansir dari Islampos.com, Imam Ibnu Katsir mengisahkan, pada 434 H terjadi paceklik dan wabah penyakit di kota Baghdad. Saking parahnya sampai-sampai masyarakat setempat memakan kucing dan anjing.
Bahkan demi mempertahankan banyak orang menjual tanah dan rumahnya demi beberapa potong roti (Al Bidayah Wa An-Nihayah, II/211).
Pada tahun 462 H terjadi kelaparan yang sangat dan wabah di Mesir, sampai sebagian orang memakan sebagian yang lainnya, buah bodam dan gula dibeli dengan timbangan dirham, telur dibeli dengan sepuluh qirath.
Ada seorang menteri Mesir keluar mengendarai keledainya menuju daerah wabah. Ketika ia turun dari bighol-nya (bighol adalah hasil persilangan kuda dan keledai), tiga orang mengambil dan memakan bighol menteri itu. Sehingga tiga orang itu disalib.
Pada pagi harinya orang-orang tidak mendapati mereka kecuali berupa tulang belulang mereka di bawah kayu salib mereka, karena mereka sudah dimakan. (Dikutip dari Sejarah Bencana Umat Islam [terjemah] Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal 123-114).
Memahami Hikmah di Balik Musibah
Seorang mukmin harus memahami segala yang terjadi tak lepas dari taqdir Allah ta’ala. Di sinilah sejatinya seorang yang benar-benar beriman harus meyakini segala yang ditaqdirkan-Nya. Meskipun dalam pandangannya terasa menyusahkannya.
Allah berfirman, “Tiada suatu bencana yang menimpa di muka bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah“.
“(Kami menjelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid : 22-23).
Ujian yang diberikan Allah yang berupa perkara-perkara yang menyengsarakan, sedikitnya harta, kelaparan dan krisis yang berkepanjangan jangan sampai membuat iman goyah.
Keringnya sumber-sumber air tidak membuat patah harapan akan turunnya rahmat-Nya. Sebab Allah menguji sesuai kapasitas kemampuan hamba-Nya.
Dan ternyata di negeri ini tak separah sebagaimana tragedi mencekam sehingga sesama manusia menjadi ‘kanibal’ alias memakan daging sesama untuk mempertahankan hidup.
Solusi dari problematika kelaparan dan kemiskinan adalah beriman dan bertaqwa pada Allah ta’ala. Berusaha merubah keadaan dengan jalan-jalan yang halal, memperbanyak do’a selalu bertawakkal kepada-Nya.
Meninggalkan maksiat serta bertaubat niscaya Allah akan memberikan kemudahan dan menghilangkan segala perkara-perkara yang membuat manusia menderita lahir-batin.
Allah ta’ala berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96).
Allah ta’ala mencintai hamba-Nya yang bersabar menghadapi ketetapan Allah ta’ala. Mereka tidak berprasangka buruk pada Allah Azza wa Jalla dengan datangnya musibah.
Bahkan mereka bersegera merendahkan diri kepada-Nya, meminta diangkatnya beban yang menghimpitnya, dan tidak berputus asa dari pertolongan-Nya.
Dan hikmah di balik musibah bisa menumbuhkan empati diantara sesama untuk membantu dan meringankan penderitaannya dengan suport moral, bantuan fisik dan do’a sehingga tumbuh ukhuwah imaniyah yang kuat. (MYR)